- Home »
- Juara 5 "Lomba Fanfic DCF 2015"
#DConanFamily
On Tuesday, August 4, 2015
Disclaimer:
Detective Conan © Aoyama Gosho
Yu-Gi-Oh! © Kazuki Takahashi
***
Bloody
Cards
a crossover fanfiction
by Chiba Issin & Matsumoto
Sayuri
***
4 April 2015
Hari ini hanyalah hari biasa di kantor
polisi.
Takagi mengambil kopinya dari vending machine, membukanya secara
perlahan, dan meminumnya dalam sekali teguk.
Tiba-tiba, lengannya ditarik oleh seseorang.
“Ikuti aku.” Kata Miwako. Takagi
mengerut, kalau tangannya ditarik seperti ini, memangnya ia bisa pergi ke mana
lagi?
“Ada apa?” Takagi melempar kaleng
kosongnya ke dalam tempat sampah terdekat. Tepat setelah ia melemparnya, mereka
berhenti. Takagi menyipitkan matanya
untuk membaca tulisan yang tertulis di ujung pintu. Ruang data.
Miwako membuka pintu dan berjalan dengan
langkah terketuk ke dalam ruangan. Takagi, yang masih kebingungan, memutuskan
untuk mengikutinya tanpa bertanya.
Miwako menarik kursi, lalu duduk. Ia
memberi, atau lebih tepat disebut melempar, 3 file kepada Takagi. “Baca ini.”
Takagi mengambil yang pertama. File
tersebut berwarna biru pudar, yang menandakan file tersebut sudah disimpan
cukup lama. Dengan cepat, ia membaca isi file pertama. “Ini kasus pembunuhan 3
tahun lalu. Kenapa tiba-tiba kamu kasih ini?” Takagi bertanya, tidak dapat
menahan rasa penasarannya lebih lama.
Miwako mendesah. “Kasus pertama terjadi
pada 1 Januari 3 tahun lalu. Korban ditemukan di tepi sungai.” Ia mengambil
file kedua. “Yang kedua terjadi pada tanggal 2 Febuari 2 tahun lalu. Korban
dibunuh menggunakan pistol. Dan yang ketiga terjadi pada tanggal 3 Maret 1
tahun lalu. Keracunan.”
“Tunggu, kenapa polanya seperti ini?
Tanggalnya mengikuti satu sama lain.”
Miwako mendesah. “Itulah maksudku. Jika
instingku benar, akan ada pembunuhan lagi tahun ini.”
“Tapi, bisa saja ini sebuah kebetulan,
kan?”
“Tidak. Yang membuatku merinding adalah,
ketiga korban memiliki kartu yang sama.”
“Kartu? Kartu apa? Kartu kredit?” Takagi
mengerutkan keningnya.
Miwako terlihat putus asa. “Duh. Kalau
itu hanya kartu kredit, untuk apa aku khawatir. Itu bukan kartu kredit,” Miwako
memberi penekanan saat mengucapkan kartu kredit. “Itu kartu yang aneh. Aku
sudah cari di internet, tetapi aku tidak bisa menemukan kartu yang sama.”
“Jadi,” Takagi membaca file tersebut
satu persatu “kartu dari korban pertama ditemukan di saku celananya. Yang kedua
di dalam tas, dan yang ketiga digenggam oleh korban.”
Miwako mengangguk.
“Jadi, jika instingmu benar, pembunuhan
akan terjadi pada tanggal 4 April.”
“Yep. Kamu tahu hari ini tanggal
berapa?”
Mata Takagi melebar. “Hari ini.”
Miwako mengangguk lagi. “Ayo. Kita harus
memberitahu yang lain mengenai ini.”
***
“Ada apa ini?” Tanya Miwako pada salah
satu detektif yang terlihat sibuk. Mereka dikejutkan saat melihat detektif yang
berada di kantor semua terburu-buru.
“Ada pembunuhan. Dibunuh dengan pisau.
Lokasi di Ginza. Ayo pergi.” Jawabnya.
Miwako and Takagi melihat satu sama
lain, lalu mengangguk.
Takagi mengambil kunci mobilnya, lalu
segera pergi ke lokasi bersama Miwako. “Tenang, bisa saja ini pembunuhan lain.”
Kata Takagi saat mendapati Miwako pucat pasi. Miwako mengangguk lemah.
Tak lama kemudian, mereka sudah sampai
di Ginza, salah satu daerah elite di
Tokyo.
“Permisi. Kami polisi!” Miwako
menunjukan ID cardnya kepada kerumunan, sehingga mereka menyingkir dan
memberikan jalan untuk mereka.
Ketika mereka memasuki ruangan, mereka
langsung menemukan mayat seorang pria yang terlihat masih muda terkapar di
tengah ruangan. Darah menggenang di bawahnya.
Miwako melihat barang-barang korban sedang
diperiksa oleh detektif lain. “Hey, apakah kalian menemukan kartu aneh dari
dalam tasnya?”
“Maksudmu ini?” detektif itu menunjukkan
kartu yang sama persis dengan yang ia maksud.
“OMG.” Miwako bisa merasakan kepalanya
berputar. “Tolong panggil tim forensik, jangan sentuh mayatnya dan simpan kartu
ini baik-baik.”
Detektif itu, yang terlihat masih hijau,
terlihat bingung. “Tapi, seseorang sudah melakukannya. Ia memanggil tim
forensik dan dia jugalah yang menemukan kartunya.”
Miwako memutar bola matanya. “Tolong
jangan bilang ini ulahnya si Kudo lagi.”
Detektif muda itu menggeleng. “Tidak,
kita belum pernah bertemu dengannya. Ia memiliki gaya rambut yang sangat aneh.
Setelah ia melihat mayatnya, ia menggumamkan namanya.”
Miwako mengerut. “Di mana dia?”
Detektif itu menunjuk pria tak dikenal
itu. Ia sedang berdiri di luar, memperhatikan pekerjaan polisi dengan tajam.
Miwako berjalan kearahnya. Saat ia
berjarak 1 meter di depannya, ia bisa melihat lelaki itu memegang kartu yang
sama dengan kartu korban. Merasa diperhatikan, lelaki itu mencoba
menyembunyikan kartunya.
Miwako mengamatinya dari kepala sampai
kaki. Who the hell is he?
***
Yami menyadari tatapan wanita di
depannya. Dan ia tahu wanita itu mencurigainya.
Yugi?
Ia memanggil hostnya.
Iya,
Aibou. Ia merasakan jawabannya.
Apa
yang harus kita lakukan? Aku dapat merasakaan ia mencurigai kita.
Ia dapat merasakan hostnya berpikir
untuk sesaat, sebelum menjawab. Switch.
Ia menurutinya tanpa berdebat.
“Halo, Ms. Nama saya Yugi. Dan, anda?”
Yugi menyapa wanita itu.
“Miwako Sato. Saya yang bertugas
menangani kasus ini. Dan, partner saya adalah Takagi Wataru.”
“Senang berkenalan dengan anda. Saya
bisa menjelaskan semua yang saya tahu mengenai kasus ini, jika anda mau.”
“Sebenarnya, saya sempat berpikir untuk
menginterogasi anda. Tetapi melihat kerja sama anda, mungkin kita bisa
menyelesaikan ini dengan mudah. Bagaimana jika anda membiarkan kami selesai di
sini sehingga kita bisa berbicara nanti?”
Yugi mengangguk. “Tentu.”
1 jam kemudian.
“Kita sudah selesai di sini. Mari
berbicara.” Ajak Miwako.
“Tapi saya punya satu syarat.”
“Dan, apakah itu?” Jawab Miwako. Yugi
dapat merasakan Miwako mulai bersiaga.
“Saya bisa menjelaskan semuanya, tetapi
saya harus berada di tempat yang saya rasa aman. Dengat kata lain, di rumah
saya.” Kata Yugi dengan sedikit menantang.
“Di mana?”
“Kame Game Shop, Domino City” Jawab
Yugi.
Kame
Game Shop? Pikir Miwako. Tapi tempat itu sudah tidak tersentuh sejak 3 tahun terakhir. Well, aku
bisa melindungi diriku sendiri. Untuk Takagi.. aku yakin ia bisa melindungi
dirinya sendiri. “Oke, ayo pergi.” Jawab Miwako.
***
“Lurus terus. Setelah lampu merah, belok
kanan.” Yugi memberitahu arah menuju ‘rumah’nya.
Takagi menyetir dalam diam, begitupula
Miwako yang duduk di sampingnya.
“Sampai.” Suara Yugi memecah keheningan.
Takagi menghentikan mobilnya. Di samping
mereka, Kame Game House berdiri kokoh.
“Ayo masuk.” Ajak Yugi.
Mereka melangkah secara perlahan. Saat
Yugi membuka pintu depannya, Miwako terkejut mendapati ruangan itu cukup
bersih, untuk ukuran gedung yang tidak terpakai selama 3 tahun.
“Bersih.” Komentar Miwako. Ia tidak
dapat menahan rasa penasarannya. Ia menyapu pandangannya ke seluruh ruangan.
Mesin pachinko yang berada di ujung tampak berdebu. Sebaliknya, mesin dance di
tengah ruangan terlihat bersih. Mungkin
Yugi sering bermain dance.
“Terima kasih. Tapi rumahku ada di
lantai 2. Ayo naik.”
Saat menaiki anak tangga pertama, Miwako
menyadari pegangan tangga itu memiliki ukiran yang unik. Miwako terus mengamatinya
hingga ia tidak sadar sudah sampai di anak tangga paling ujung.
Rumah itu tampaknya seperti rumah biasa.
Yugi duduk di atas sofa, lalu memberi isyarat agar kedua detektif itu duduk di
hadapannya.
“Kita langsung mulai saja. Apa
hubunganmu dengan korban?” Kata Miwako sambil menyilangkan kakinya.
Yugi mendengus. “Tidak ada basa-basi
sekali orang ini.” Gumamnya.
“Kami bisa mendengarmu.” Jawab Takagi
sewot.
Yugi tertawa terbahak-bahak, yang
membuat Miwako menyipitkan matanya. “Cepat.”
“Baiklah. Namanya Kazuya Jonouichi. Ia
teman dekatku, dulu. Kami sering main bersama dahulu. Ia tinggal bersama sampai
di sini sampai 3 tahun lalu.”
“Anda kenal korban sebelumnya?”
Yugi mengangguk. Sambil memainkan rambut
anehnya, ia menjawab. “Anzu Mazaki, Seto Kaiba, Hiroto Honda. Mereka semua
dulunya temanku.”
Takagi mengangguk. “Bisa beritahu kami
apa sebenarnya arti dari kartu itu?”
Yugi merogoh sakunya. “Ah, maksud kalian
ini? Ini kartu untuk permainan lama kami. Permainan ini cukup terkenal beberapa
tahun lalu. Aku tidak tahu mengapa si pembunuh selalu menyisipkan kartu ini
saat membunuh mereka.”
Kerutan di dahi Miwako semakin dalam.
“Anda tidak bersedih? Teman Anda baru saja meninggal.”
Yugi tertawa terbahak-bahak. “Kalian
tidak mendengarkan dengan baik, ya? Mereka memang temanku, tapi dulu. Dan
sekarang bukan lagi.”
Miwako mengagguk, walau masih sedikit
penasaran. “Apakah Anda tahu pembunuhnya? Perkiraan saja?”
Yugi mengangkat bahunya. “Entah. Tapi
memang cukup banyak orang yang membenci kami dulu. Permainan kartu kami cukup
jago. Sebentar, aku teringat satu orang.”
“Bisa Anda beritahu siapa kira-kira
orang itu?” Tanya Takagi dengan antusias.
“Ryo Bakura. Teman lama kami dari
Sekolah Tinggi Domino. Dulu ia kami kalahkan, mungkin saja ia masih menyimpan
dendam terhadap kami.”
Miwako mengangguk, lalu berdiri. “Terima
kasih atas kerja sama Anda. Kami sangat hargai itu.” Miwako menjabat tangan
Yugi.
“Sama-sama. Maaf jika lancang, tetapi
bolehkah saya ikut membantu investigasi ini?”
Miwako menggeleng. “Maaf, ini sepenuhnya
tanggung jawab polisi.”
Yugi tertawa lagi, lebih kencang
dibanding sebelumnya. “Tanggung jawab polisi? Lucu sekali. Kemana kalian saat 3
temanku terbunuh secara berurutan? Atau kalian pikir kematian mereka hanya
pembunuhan biasa? Astaga, aku tidak tahu polisi itu sebodoh ini.” Ia berkata
dengan sinis.
“Jaga mulutmu, bocah. Kami sudah tahu
bahwa ini adalah pembunuhan beruntun.” Jawab Miwako sambil menggertakkan gigi.
“Sejak kapan? Kalau boleh kutebak, tadi
pagi?” tanya Yugi dengan nada merendahkan.
Miwako berjalan mendekati Yugi, hingga
mereka hanya berjarak satu jengkal. “Tutup mulut. Asal kau tahu, kau adalah
salah satu tersangka kami.”
Mata Yugi melebar. “Kau bercanda,
detektif? 4 teman lamaku terbunuh dan kau menetapkanku sebagai tersangka?
Jangan lupa, aku memiliki kartu yang sama seperti mereka. Daripada menetapkanku
sebagai tersangka, kusarankan kau menetapkanku sebagai korban selanjutnya.”
Desis Yugi.
Tanpa disuruh, Miwako berjalan menuruni
tangga lalu segera keluar dari Kame Game House. Di luar, ia manarik nafas, lalu
membuangnya, berkali-kali. Itu adalah ritual khusus yang dilakukannya jika
sedang marah.
Tak lama, Takagi keluar lalu
merangkulnya. “Ayo. Aku lapar, makan yuk.”
Miwako mengangguk lemah. Setelah Takagi
membuka pintu mobilnya menggunakan remote, Miwako membukanya lalu duduk di
kursi penumpang.
Hari ini bukan hari biasa di kantor
polisi.
***
Yugi memperhatikan mobil polisi itu
pergi dari lantai 2.
Yugi?
Panggil Yami.
Ada
apa?
Jawab Yugi.
Kau
tidak apa-apa? Tadi kau marah kan?
Yugi tertawa kecil. Tak apa. Tapi tak kusangka polisi itu sebodoh itu.
Yugi dapat merasakan Yami tertawa. Ryo Bakura? Aku kaget kau masih mengingat
namanya.
Yugi tertawa lagi, kali ini ia
terbahak-bahak. Aku baru saja ingat tadi.
Sebelumnya aku hanya ingat Ishtar, tapi ia sedang di Amerika sekarang. Kalau
polisi itu mencarinya, akan makan waktu lama. Lalu tiba-tiba aku teringat
Bakura. Jawab Yugi panjang lebar.
Kira-kira
berapa lama hingga polisi itu menyadari kesaksian yang kau berikan itu palsu? Tanya
Yami.
Yugi tersenyum lebar. Aku harap tidak lama. Aku tidak mau mati
kebosanan menunggui mereka, seperti dulu.
***
5 April 2015
Suara langkah berketuk dari sepatu hak
Miwako menggema di lorong yang sepi itu. Wajar saja, sekarang baru jam 7 pagi.
Ia sengaja datang lebih cepat ke kantor polisi.
Dengan perlahan, ia mendorong pintu
kantor. Tak disangkanya, Takagi sudah duduk di mejanya. Tumpukan kertas
menghalangi pandangannya dari komputer di hadapannya..
“Pagi. Tumben kau sudah datang.” Sapa
Miwako sambil menaruh tasnya di atas mejanya yang kebetulan berada di samping
meja Takagi.
“Ah, pagi. Ada beberapa hal yang
membuatku penasaran.” Jawab Takagi sambil membolak-balikkan kertasnya.
Miwako menaikkan alisnya. “Sama, dong.
Aku penasaran dengan Ryo Bakura.” Miwako mulai menyalakan komputernya.
Dahi Takagi berkerut. “Sebaiknya kita
jangan terfokus pada Bakura saja.”
“Kenapa?” Jawab Miwako tanpa mengalihkan
pandangannya dari layar komputer.
Takagi merogoh jasnya, lalu mengeluarkan
sebuah kartu. “Ini. Aku ambil kartu ini kemarin.”
Kali ini Miwako menoleh. “Apa ini?
Kartu?”
Takagi mengangguk. “Kemarin, saat kau
sedang bertengkar dengan Yugi, aku melihat kartu ini di bawah sofa. Jadi, aku
ambil.”
Miwako menghela nafas. “Opsir Takagi,
tidakkah kau tahu bahwa mengambil barang dari rumah tersangka itu dilarang
kecuali kita memiliki ijinnya?”
“Tahu. Dan, aku tidak mengambilnya. Aku
‘memungutnya’. Dan tidakkah kau tahu bahwa mengambil dan memungut itu berbeda?”
Jawab Takagi jengkel. “Dan,” ia melanjutkan. “bisakah kita fokus terhadap kartu
itu dibandingkan berdebat mengenai tindakanku ‘memungut’ barang?”
Miwako memutar bola matanya. “Oke, ada
apa dengan kartu ini? Yugi bilang ini kartu dari permainan jadul.” Miwako
membolak-balik kartu itu dengan bosan.
“Aku ingat jaman dahulu memang ada
permainan kartu ini. Dan, sudah tidak terkenal lagi karena permainan ini
dilarang.”
Mata Miwako sontak melebar. “Dilarang?”
“Ya. Dan, coba perhatikan kartu itu.
Kartu itu termasuk salah satu kartu yang langka. Kekuatannya besar. Kalau
menggunakan kartu itu, sudah dapat dipastikan akan menang.”
Miwako memejamkan matanya. “Tunggu. Aku
tidak mengerti maksudmu. Bagaimana cara memainkan kartu ini?”
Takagi menghela nafas panjang,
bersiap-siap menjelaskan panjang lebar pada Miwako. “Jadi, kita bisa main 1 vs
1 atau 2 vs 2. Masing-masing pemain minimal punya deck yang isinya 40 kartu.
Usahakan seimbang antara trap, monster, spell, special card, fusion, dan
lain-lain.”
Miwako mengangguk. 15 menit selanjutnya
dihabiskan dengan Takagi menjelaskan cara main kartu aneh ini.
Miwako mengangguk, kali ini sudah
mengerti. “Lalu, kartu ini benar-benar kartu hebat?”
“Ya. Kartu ini bernama Obelisk the Tormentor, salah satu dari kartu tiga
dewa mesir. Yang aku dengar, baru ditemukan 2 kartu, satu lagi masih belum
diketahui keberadaannya.”
“Kenapa kartu
selangka ini ada di bawah sofa?”
Takagi
menggedikkan bahunya. “Entahlah. Dan, kau tahu siapa yang punya kartu lainnya?”
Miwako
menyipitkan matanya. “Ryo Bakura?”
“Ya. Dan kurasa
yang membuat Bakura dendam dengan Yugi itu karena ia kalah dipertandingan di
mana Yugi menggunakan kartu Obelisk the Tormentor, yang mengalahkan kartu dewa
mesirnya.”
“Loh, kartu tiga
dewa mesir, kan, levelnya sama. Mengapa Bakura bisa kalah?”
“Aku juga tidak
yakin, sepertinya Yugi mempunyai kartu lain yang tidak kalah kuat. Yah,
begitulah yang kusimpulkan dari video YouTube yang baru saja kutonton.” Ia
mengetukkan jari telunjuk pada layar hitam komputernya.
Miwako merengut. “Tadi kau bilang aku
tidak boleh terlalu fokus dengan Bakura, sekarang semua petunjuk mengarah pada
dirinya.”
“Aku tidak bilang kau tidak terlalu
fokus dengan Bakura, aku bilang lebih baik fokus pada kartu itu.” Ia menunjuk
kartu Obelisk The Termentor yang masih dipegang Miwako. “Dan, alibi Bakura
sangat sempurna.”
“Apa itu? Kalau alibinya ia berada di
luar negeri,
itu bisa dengan mudah kita patahkan.”
Takagi menggeleng. “Tidak. Ia ikut dalam
kelompok militer khusus sejak empat tahun lalu. Dan, sejak 2 tahun lalu, ia
tidak pernah keluar dari markasnya.”
“Darimana kau tahu semua itu?”
“Aku baru saja menelfon markas militer.
Mereka mengatakan, jika kita ingin mengunjunginya, kita diperbolehkan. Tapi
bukan hari ini, besok.”
Miwako mendengarkan dengan saksama.
“Kalau begitu, kita pergi ke sana dulu hari ini.” Jari Miwako menari-nari di
atas keyboard komputernya.
“Ke mana?”
“Toko yang menjual kartu semacam ini.
Aku ingin beli satu kotak, kita coba bermain bersama. Ayo.” Miwako berdiri dan
langsung melemparkan kunci Mazdanya kepada Takagi.
Dengan sigap, ia menangkap kunci itu dan
berjalan mengikuti Miwako.
***
Miwako duduk di kursi penumpang dengan
lengan terlipat dan wajah tertekuk. “Aku lupa toko ini bukanya jam 10.”
Takagi mengangguk, membenarkan ucapan
Miwako. “Dan, sekarang baru jam setengah 8. Ya sudah, kita makan dulu yuk. Aku
belum sarapan.”
Miwako menghela nafas. “Oke. Aku mau
McD.”
***
“Selamat datang di Millenium Game Shop!”
Teriak seseorang dari dalam toko.
Miwako dan Takagi masuk beriringan.
“Pagi. Ada yang ingin kami cari.”
“Dan apakah itu?” Seseorang yang
berteriak itu adalah pria paruh baya yang seluruh rambutnya hampir tertutup
uban.
“Satu pak kartu. Kartu yang seperti
ini.” Takagi menunjukkan kartu langka milik Yugi.
Seketika, ekspresi lelaki tadi berubah.
Senyum lebar yang terpampang di wajahnya berangsur-angsur berubah menjadi garis
tipis. “Mengapa anda mencari kartu yang seperti ini, tuan polisi?”
Takagi dan Miwako kaget. Mereka tidak
menyangka lelaki ini dapat mengenali mereka sebagai polisi. “Ada beberapa hal
yang ingin kami pastikan.”
Lelaki itu mengangguk. “Aku anggap itu
ada sangkut pautnya dengan kasus pembunuhan baru-baru ini.”
“Anda tahu mengenai kasus itu?”
Lelaki itu mendengus. “Aku mengenal
mereka semua.” Lelaki itu memberi isyarat agar Takagi dan Miwako menunggu untuk
sebentar, lalu ia masuk ke dalam sebuah ruangan yang sepertinya adalah gudang.
Miwako memikirkan perkataan lelaki tadi.
Aku mengenal mereka semua. Mereka
semua berarti seluruh korban yang sudah terbunuh sejak tahun-tahun sebelumnya.
Sebenarnya apa hubungan lelaki ini dengan kasus ini?
Lelaki itu keluar tak lama kemudian
dengan satu pak kartu di tangan kanannya. “Sudah lama tidak ada yang membeli
kartu ini, saya sampai lupa menaruhnya di mana. Untungnya, masih tersisa satu
pak. Sebelum saya berikan ini, saya ingin bertanya 1 hal.” Jawabnya sambil
melepas topi kupluk hijau yang tadi ia pakai.
“Silahkan.” Jawab Takagi dan Miwako
bersamaan.
“Kartu ini hanya dimiliki oleh Yugi
Mutou. Bagaimana kalian bisa mendapatkannya?”
“Saya memungutnya. Dari rumahnya. Kartu
ini tergeletak di bawah sofanya.” Jawab Takagi terus terang.
Lelaki itu mengangguk. “Perkenalkan,
nama saya Sugoroku Mutou. Mendengar nama keluarga saya, saya yakin anda pasti
bisa menyimpulkan bahwa saya adalah keluarga Yugi. Ya, saya kakeknya.”
Takagi dan Miwako cukup terkejut
mendengarnya.
“Maaf sebelumnya jika saya lancang,
tetapi saya penasaran apa saja yang Yugi katakan pada kalian?”
“Ryo Bakura mungkin yang berada di balik
pembunuhan ini.”
Sugoroku Mutou menghela nafas. Ia
bergumam yang kira-kira terdengar seperti anak
itu benar-benar. Ia menatap Takagi dan Miwako dalam. “Kasus ini sudah
dibiarkan terlalu lama. Saya mohon tolong tangkap pembunuh yang sebenarnya.”
Miwako mengangguk. “Kalau boleh tahu,
apa hubungan anda dengan para korban?”
“Teman Yugi sudah saya anggap cucu saya
sendiri. Mereka dulu sering bermain kartu ini bersama,” ia mengetuk kartu milik
Yugi. “dan saya sering mengajari mereka. Tidak saya sangka, kemampuan mereka
berkembang dengan cepat. Terutama Yugi.”
Hening sejenak, hingga Takagi membuka
mulut. “Ano, berapa harga kartu ini?”
Sugoroku mengibaskan tangannya. “Tidak
usah bayar. Saya juga tidak lagi membutuhkan kartu ini. Ambil saja,
hitung-hitung sedekah.” Tawanya berderai.
Takagi mengangguk canggung. Setelah
mengucapkan salam, mereka berdua pergi dari toko itu.
Di dalam, Sugoroku Mutou memperhatikan
kepergian mereka dengan tajam. Lalu, ia menghela nafas panjang, sedikit
frustrasi.
Ia bergerak menuju rak mainan yang
sedikit berantakan sambil bergumam, Hati-hati,
Polisi. Jangan terkecoh. Kasus ini lebih dalam dari yang kalian kira. Semoga
semua ini cepat berakhir.
***
6 April 2015
Kunjungan ke markas militer memang tidak
pernah menyenangkan. Selain tempatnya sangat jauh, 1 setengah jam menggunakan
mobil, mereka harus menghadapi sikap kaku para anggota militer.
Setelah menunggu selama 10 menit di
ruang tunggu, akhirnya Ryo Bakura keluar. Takagi dan Miwako menjabat tangannya,
yang ternyata sangat dingin, lalu Bakura duduk di kursi di hadapan mereka.
Ryo terlihat masih muda, mungkin
seumuran dengan Yugi. Perawakannya tidak kalah menarik dengan Yugi. Rambutnya
berwarna putih terang, lebih putih dari uban Sugoroku.
“Jadi,” kata Ryu. “ada perlu apa
detektif dari kepolisian pusat mencari saya?”
“Anda tahu kasus pembunuhan yang terjadi
baru-baru ini. Kami dibe-” Ucap Takagi, tetapi ia tidak menyelesaikan ucapannya
karena disela oleh Bakura.
“Anda pikir saya pelakunya kan? Jangan
bilang, Yugi yang mengatakannya.” Bakura menumpukan sikunya pada meja, lalu
menopangkan kepalanya di atas kepalan tangannya.
Miwako dan Takagi terkejut. “Bagaimana
anda bisa tahu?”
Bakura berdecak. Ia melipat tangannya di
depan dada sambil melihat Takagi dengan bosan. “Karena 2 tahun lalu Yugi
melakukan hal yang sama. Ia memberi tahu polisi bahwa mungkin saja itu adalah
tindakan saya karena saya dendam pada mereka.”
“2 tahun lalu?” Miwako mengerutkan
keningnya.
Bakura mengangguk. “Ya. Waktu itu bukan
kalian detektifnya. Waktu itu saya sampai diinterogasi selama 2 jam. Tolong
jangan lakukan itu lagi sekarang.”
Miwako menghela nafas panjang. Lalu, ia
memberi isyarat agar Takagi menunjukkan kartu milik Yugi. Dengan cekatan,
Takagi melakukannya. Ia merogoh saku jasnya, lalu menunjukkan kartu Yugi.
Tak disangka, menunjukkan kartu itu
memberikan efek besar pada perubahan ekspresi Bakura.
“Bagaimana kalian bisa mendapatkan kartu
ini?”
“Kami memungutnya di rumah Yugi. Kau
tahu kartu ini, kan?”
Bakura mendengus. “Jangan bercanda. Aku
tahu kartu ini? Aku mati-matian
mendapatkan kartu ini dulu. Dan kalian dengan mudahnya bilang ‘memungut’.”
Takagi menggedikkan bahunya, lalu
mengambil lagi kartu Obelisk the
Tormentor. “Kami dengar anda punya kartu lainnya dari seri ini.”
Bakura
mengangguk. “Slifer the Sky Dragon. Ada di rumah saya,” Ia tampak berpikir
sebentar. “sebenarnya, jika kalian menginginkan kartu itu, akan saya berikan.”
“Anda rela
memberinya?” Miwako menganga karena tidak percaya.
“Kartu itu
bagian dari masa lalu saya. Untuk apa saya menyimpannya jika masa depan saya
adalah kemiliteran.” Ia menaikkan satu alisnya, menantang. “Berminat?”
“Pasti ada syaratnya, kan? Tidak mungkin
anda memberikan kartu langka begitu saja.” Miwako mengeluarkan nada menantang.
Bakura tertawa terbahak-bahak. “Kurasa
detektif kali ini jauh lebih pintar dibandingkan yang sebelumnya. Ya, dengan
satu syarat.”
“Dan, apakah itu?”
“Bermain kartu dengan saya. Tenang, saya
tidak akan menggunakan kartu yang mematikan. Kita bermain untuk
bersenang-senang saja. Kangen juga, setelah bertahun-tahun tidak bermain.
***
Setelah mendapatkan ijin untuk keluar
markas selama 1 hari, Bakura masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh Takagi.
“Wah, senang juga rasanya melihat dunia
luar setelah 2 tahun hanya melihat markas.”
“Mengapa anda tidak keluar selama 2
tahun?” Tanya Miwako sambil menatap Bakura melalui spion tengah.
“Sibuk. Latihan, melatih, dan promosi
jabatan.” Jawabnya tak acuh.
Setelah 1 jam berkendara, akhirnya
mereka sampai di Tokyo. Gedung-gedung pencakar langit menyambut mereka dalam
bisu.
“Di mana rumah anda?”
“Dotonbori-dori 12C, Asakusa. Dulu saya
tinggal di Domino
City, tetapi sejak pertempuran dengan Yugi, saya pindah. Saya tidak tahan jika
harus terus-menerus melihat wajahnya. Bisa-bisa saya muntah.” Lalu, Bakura
tertawa keras.
Tak lama kemudian, mereka sampai di
apartemen Bakura. Setelah memarkirkan mobil di basement, ketiganya berjalan
beriringan menuju lift. Bakura langsung menekan angka 17.
Setelah sampai, Bakura memimpin
perjalanan mereka menuju kamarnya. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan
kunci. Lalu, pintu terbuka di depan mereka.
Apartemen Bakura bisa terbilang mewah.
Tidak kaget jika mengingat apartemennya merupakan apartemen elite.
“Apartemen anda tidak kotor.” Miwako
mengusapkan jari telunjuknya pada jendela dan tidak menemukan jejak debu di
jarinya.
“Aku membayar seseorang untuk
membersihkannya sebulan sekali setiap awal bulan. Sepertinya ia mengerjakan
tugasnya dengan baik.” Bakura mengangguk puas.
“Kita langsung mulai saja.” Bakura
keluar dari kamarnya sambil membawa sebuah kotak besar. Dengan sedikit susah
payah, ia membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat tumpukan kartu.
Ia mengambil Slifer the Sky Dragon, lalu menunjukkannya kepada
Takagi. “Ini, bisa kalian ambil setelah kita bermain.” Miwako dan Takagi mengangguk.
“1 on 1. Siapa
yang bersedia?” Tanyanya sambil memilih kartu dengan acak, lalu memberinya
kepada Miwako yang sudah berdiri di hadapannya.
“Baik. Sudah
tahu cara mainnya kan?” Miwako mengangguk.
Permainan di
mulai. Bakura meminjamkan kartunya karena Miwako tidak membawa kartu yang ia
beli kemarin.
Pertandingan
berawal mulus. Bakura menggunakan B. Dragon Jungle King yang membuat LP Miwako
yang semula 8000 menjadi 5900. Miwako tersenyum jahil saat ia mengeluarkan
kartu Big Koala yang membuat LP Bakura menjadi 5300.
Bakura tersenyum
sambil menggumam ‘hebat juga’.
10 menit
selanjutnya berjalan dengan sengit. Hingga akhirnya Bakura menggunakan Blue
Eyes Ultimate Dragon yang membuat Miwako K.O.
“Hahaha. Kau hebat juga, Opsir Sato.”
Kata Bakura di sela-sela tawanya.
Miwako tersenyum. “Senang bermain
denganmu, Bakura.”
Bakura mengangguk. “Sama-sama. Silahkan
ambil kartunya.” Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 3 siang. “Kalian
akan mengantar saya kembali ke sana kan? Jika kita tidak berangkat sekarang,
saya akan mendapat peringatan karena kembali lewat dari pukul 5.”
“Tentu. Ayo, berangkat. Tetapi,
sebelumnya saya ingin mampir di McD sebentar untuk membeli makanan. Anda
keberatan?” Tanya Takagi sambil berjalan menuju pintu.
Tawa Bakura meledak lagi. “Tentu tidak.
Kalau anda tidak keberatan, saya ingin double
cheeseburger.”
***
Bakura menutup pintu mobil dengan
perlahan. Lalu, ia menunduk di depan jendela Miwako.
“Terima kasih atas tumpangannya. Dan
jangan lupakan kata-kataku.”
“Sama-sama. Good luck di sini!” Kata Miwako, sementara Takagi mulai memundurkan
mobil, bersiap-siap untuk kembali ke Tokyo.
Bakura memberikan hormat khas militer,
hingga mobil yang dikemudikan Takagi tidak terlihat lagi.
Ia menghela nafas. Good luck lebih pantas untuk kalian. Semangat. Jangan terjebak olehnya,
batinnya. Lalu, ia masuk ke dalam markasnya, menutup mata dan telinga atas
kejadian yang akan terjadi.
***
9 April 2015
Yami memakan pizza sambil
mengganti-ganti channel tv dengan
bosan.
Yugi?
Panggilnya.
Ya?
Jawab Yugi.
Sudah
5 hari. Mereka tidak datang-datang. Aku sudah bosan menunggu.
Kata Yami sambil melempar remote
dengan acuh.
Yami dapat merasakan Yugi mendengus. Jangan banyak mengeluh. Baru juga 5 hari.
Tahun lalu kita sampai menunggu 2 bulan dan tidak ada hasilnya. Mereka
menyerah. Cih, tikus-tikus bodoh.
Yami mengangguk. Semoga kali ini mereka cukup cepat. Aku bosan setengah mati.
Bawel.
Nyalakan lagi TVnya. Aku suka acara di channel terakhir.
Pinta Yugi setengah memerintah.
Sambil berdecak, Yami mengambil lagi remote yang baru saja ia lempar, lalu
menyetel channel terakhir.
Nah,
gitu dong. Kata Yugi puas.
Yami hanya bisa berdecak.
***
Takagi memarkirkan mobilnya tepat di
depan Kame Game House. Setelah mengunci mobilnya, ia segera masuk ke dalam
rumah Yugi. Tanpa mengucap salam, mereka langsung naik ke lantai 2.
“Wah, sepertinya ada tamu tak diundang.
Apa gerangan tujuan detektif-detektif ini datang kemari?” Tanya Yugi yang
sedang duduk di atas sofa sambil mengupas apel.
Miwako maju dua langkah. Ia menunjukkan
sebuah kertas bertuliskan ‘Surat Penangkapan’.
Yugi menaruh pisaunya dengan santai.
“Penangkapan? Maksudmu, saya pembunuhnya?”
Miwako mengangguk. “Secara resmi, kami
ingin menangkap anda. Jika ada hal yang ingin disampaikan, sampaikan saja di
kantor polisi.” Takagi langsung berjalan mendekati Yugi, di tangannya sudah
siap borgol.
Yugi mendengus. “Saya mau ikut ke kantor
polisi dengan satu syarat.”
Miwako berdecak. “Jangan bilang anda
ingin bermain kartu.”
Senyum Yugi seketika melebar.
“Sayangnya, anda betul, Opsir Miwako.”
Kali ini Takagi yang berdecak. “Kenapa
sih, orang-orang ini suka sekali bermain kartu.”
Yugi menoleh ke arah Takagi dengan
kepala dimiringkan. “Orang-orang ini? Maksudmu Ryo Bakura.”
“Kalau iya, kenapa?”
Tak disangka, Yugi langsung tertawa
terbahak-bahak. “Kalian bermain kartu dengan Bakura? Kutebak kalian pasti
kalah.”
“Kalau iya, kenapa?” Ulang Miwako untuk
kedua kalinya.
Yugi menyeringai. “Ayo, bermain lagi
denganku. Akan kupastikan kalian merasakan kekalahan untuk kedua kalinya.”
“Apa keuntungannya untuk kami?”
“Kalah atau menang, aku akan ikut dengan
kalian.” Jawab Yugi sambil memakan apel yang baru saja ia potong.
Takagi dan Miwako saling tatap untuk
sesaat, lalu mereka mengangguk. “Kami terima.”
Yugi mengangguk girang. “1 vs 1. Siapa
yang bersedia?” Ia lompat dari sofa lalu berjalan ke ujung ruangan, membuka
lemari, lalu mengambil sebuah kotak. Miwako tahu isi kotak tersebut pastilah
kartu.
“Saya.” Takagi mengantungi lagi
borgolnya, lalu berjalan menuju meja Yugi.
Tiba-tiba, Yugi mengangkat tangan.
“Berhenti sampai di situ. Tidak ada senjata yang boleh mendekati meja tempur.”
Takagi merogoh saku jasnya, lalu
mengeluarkan pistolnya. Ia menaruh pistol itu di atas lemari yang berjarak 5
meter dari meja ‘tempur’. Melihat itu, Yugi tersenyum senang.
Takagi duduk di hadapan Yugi dengan
tenang. Ia lalu mengeluarkan kartu yang ia beli dari Millenium Game Shop.
Menyaksikan itu, alis Yugi naik. “Saya tidak menyangka anda memiliki kartu
seperti ini, Opsir Takagi. Apalagi, anda punya 1 pak.”
Takagi menaikkan bahunya tak acuh. “Kami
detektif yang penuh persiapan.” Jawabnya sambil mengocok kartu dengan tenang.
Yugi tersenyum lebar. Tak lama kemudian,
pertandingan di mulai.
Yugi mengambil kartu pertamanya, lalu ia
menyimpannya. Giliran Takagi, ia mengambil kartunya,melihat jenis kartunya,
lalu menutupnya lagi. Senyum lebar terukir di wajahnya, yang membuat Yugi
menatapnya dengan tajam.
Yugi mengambil lagi, kali ini ia
membukanya dan menaruhnya. Kartu Hinotama Soul berhasil mengurangi LP Takagi
sebanyak 600. Yugi tersenyum meremehkan, “Untuk awal-awal akan kuberi
keringanan.”
Semua berjalan mulus hingga Takagi
menggunakan kartu Gate Guardian yang
membuat LP Yugi berkurang banyak. Dari kejauhan, Miwako memperhatikan perubahan
ekspresi Yugi. Miwako dapat menebak, setelah ini, Yugi tidak akan lagi memberi
‘keringanan’. Dengan cemas, ia mendoakan
Takagi agar bisa menang melawan Yugi.
Benar saja,
setelah itu, Yugi langsung mengeluarkan Blue Eyes Ultimate Dragon yang memotong
LP Takagi sebanyak 4500.
Dengan gugup,
Takagi mengeluarkan kartu Garvas. “Defence.” Katanya dengan suara parau.
Yugi tersenyum
lebar. Ia mengeluarkan kartu Ancient Gear Golem. Takagi menelan ludah. Jika ia
tidak mendapatkan kartu itu sekarang,
ia akan kalah. Dan, ia tidak ingin kalah dari Yugi.
Takagi menarik
nafas panjang, lalu menghembuskannya. Ia memejamkan matanya saat ia mengambil
kartu dari deck. Saat ia melihat
kartu yang baru saja ia ambil, ia tersenyum lega.
“Cepatlah
detektif. Kalau sudah mau kalah, ya, pasrah saja.” Ejek Yugi sambil melipat
tangannya di belakang kepala.
Takagi melirik
Yugi sesaat, lalu melirik kartunya lagi. Dengan perlahan, ia membuka tiga
kartunya, lalu menaruhnya di atas meja dengan rapi.
“Obelisk
the Tormentor, Slifer the Sky Dragon, The Winged Dragon of Ra. Kita sambut
fusion, The Creator God of Light.” Ucap Takagi dengan santai, seraya melipat
tangannya di depan dada. Tak lebih dari 1 detik, Takagi langsung memenangkan
pertandingan ini.
Tubuh Yugi menegang. “T-tidak mungkin.
Obelisk the Tormentor adalah milikku!” Jeritnya kepada Takagi.
“Tidak setelah kami ‘memungutnya’.”
“Slifer the Sky Dragon adalah milik Ryo
Bakura!” Jeritnya lagi.
“Tidak setelah ia ‘memberi’ kami.”
“Lalu bagaimana kalian mendapatkan The
Winged Dragon of Ra?”
“Menemukannya di card pack yang kami beli.” Jawab Takagi santai.
Dengan emosi, Yugi membalikkan meja
‘tempur’ mereka. “Tidak mungkin. Mati-matian aku mencari The Winged Dragon of
Ra yang mereka sembunyikan, dan kalian mendapatkannya dengan mudah?” desisnya.
Masih emosi, Yugi menghempaskan tabung
kaca yang terletak tak jauh dari tempatnya. Tabung kaca itu mengeluarkan asap
yang membumbung tinggi. Belum tersadar dari keterkejutannya, kesadaran Takagi
menipis.
***
“Kalian
berhati-hatilah dengan Yugi, ia adalah orang yang licik.” Kata sebuah suara.
“Bagaimana
anda tahu?” tanya Miwako.
Bakura
mendengus. “Saya sering bertempur dengannya dulu. Ia akan menghalalkan segala
cara untuk menang. Kalau ia kalah, maka anda bisa saja terbunuh olehnya.”
Mata
Miwako melebar. “Terbunuh?”
Bakura
mengangguk. “Ya. Ia tidak suka jika dikalahkan. Biasanya, ia menggunakan karbon
monoksida. Hati-hati saja. Apalagi, kalian memiliki 2 kartu Tiga Dewa Phantom
sekarang, peluang kalian menang tinggi sekali.”
Miwako
tersenyum lebar. “Sebenarnya, 3.”
Kali
ini, mata Bakura yang melebar. “Tiga? Hm. Hati-hati kalian. Aku tidak mau Yugi
membunuh orang lagi.”
***
Masih dalam kesadaran yang tipis, Takagi
teringat percakapan mereka dengan Bakura beberapa hari lalu. Sial, umpatnya, bagaimana aku bisa lupa orang ini licik?
Takagi menahan nafasnya, lalu merogoh
saku jasnya. Lagi-lagi ia baru ingat bahwa pistolnya tidak berada di dalam
jasnya.
Cih.
Takagi merangkak perlahan. Ia bisa mendengar suara gulat Miwako dan Yugi. Yugi
pasti berusaha kabur, batinnya.
Takagi menopangkan tangannya di atas
meja, berusaha berdiri. Baru saja ia menyentuh meja, tangannya berdarah. Sambil
meringis, ia melirik meja. Pisau. Pisau yang tadi Yugi pakai saat memotong
apel.
Takagi meraih pisau itu. Ia menyipitkan
mata untuk memfokuskan pandangannya. Asap karbon monoksida ini sangat
mengganggunya. Setelah fokus selama 3 detik, ia melempar pisau itu.
Pisau itu melesat menuju perut bagian
kanan Yugi, dan langsung menancap dengan dalam. Gerakan Yugi yang tadinya
sedang bergulat, seketika terhenti. Miwako dapat meliahat rembesan darah
mengotori baju Yugi yang berwarna hitam.
Melihat kesempatan itu, Miwako langsung
bergerak melepaskan pitingan lengan Yugi, menangkap pergelangan tangannya, lalu
memborgolnya.
Seketika itu juga, Yugi memuntahkan
darah dari mulutnya. Walaupun terlihat kesakitan, ia tidak sekalipun mengaduh.
Yang ada, ia malah tersenyum. “K-kalian h-hebat d-detektif.”
“Tutup mulutmu. Jangan banyak bicara
atau kau akan mati.” Seru Miwako ketus.
Miwako merogoh jasnya, lalu mengeluarkan
ponselnya. “Halo? Ya, Miwako di sini. Cepat kirimkan ambulans dan mobil polisi.
Tersangka berhasil dilumpuhkan walaupun terluka. Ya, dimengerti.” Lalu, ia
menutup ponselnya.
“Takagi, kita berhasil.” Sorak Miwako
girang. Tapi ia tidak mendengar jawaban Takagi.
“Takagi?” Panggilnya sekali lagi. Tak
ada jawaban.
***
Miwako duduk di ambulans dengan cemas.
Takagi, di depannya terbaring tak sadarkan diri. Para medis sedari tadi memompa
suatu alat yang terlihat seperti botol oleh mata awam Miwako, agar Takagi bisa
bernafas.
Miwako
menggenggam tangan Takagi erat. Kumohon
jangan mati. Cepatlah sadar.
***
10 April 2015
Miwako duduk di hadapan Yugi tanpa
emosi. Kedua tangan Yugi yang diborgol terikat dengan meja.
“Jadi, apa alasan anda membunuh 4 teman
anda?”
Yugi mendengus. “Kurasa anda tahu.”
Miwako mengangguk, tangan kanannya
mengetuk-ngetukkan pulpen di atas meja, membentuk ritme yang teratur. “Kartu
Tiga Dewa Phantom. Mereka menyembunyikannya?”
Yugi mengangguk malas. “4 tahun lalu,
aku menyampaikan keinginanku untuk memiliki ketiga kartu itu. Aku sudah
memiliki Obelisk the Termentor, Bakura memiliki Slifer
the Sky Dragon dan mudah saja merebutnya dari dia. Tetapi Winged Dragon of Ra
tidak dapat kutemukan di manapun.” Yugi mengubah saya menjadi aku.
Yugi berhenti
sejenak. “Ternyata mereka menyembunyikannya dariku. Sudah berkali-kali kuancam,
tetapi mereka tetap tidak mau buka mulut. Aku terpaksa membunuh mereka satu
persatu.” Yugi menyeringai. Melihat seringai Yugi, Miwako menyimpulkan bahwa
orang ini sama sekali tidak bersalah.
“Setelah Anzu
Mazaki, Seto Kaiba, Hiroto Honda kubunuh hanya tersisa Kazuya Jonouichi.
Tadinya aku tidak mau membunuh Kazuya, tetapi ia bilang ‘lebih baik aku mati
daripada memberitahumu’. Ya sudah, aku bunuh saja dia. Toh, itu memang
keinginannya.
“Mereka bilang, akan berbahaya jika aku
memiliki ketiga kartu itu. Apa salahnya? Aku hanya ingin menguasai dunia kartu
itu.” Lanjutnya.
Miwako menghentikan ketukan pulpen di
mejanya. “Jadi, kau mengakui perbuatanmu membunuh 4 orang.”
“Ya. Tapi, bukankah kalian membutuhkan
bukti?” Tanyanya dengan menantang.
Miwako mengibaskan tangannya. “Kami
sudah ambil seluruh bukti yang kau simpan di dalam mesin dance-mu.”
“Bagaimana kalian bisa tahu?” Yugi
diliputi rasa penasaran.
“Hanya mesin dance-mu yang tidak
tertutup debu. Yang lainnya berdebu semua. Sudah, jangan tanya apa-apa lagi.”
Yugi mengangguk pasrah.
***
Miwako masuk ke dalam ruang rawat Takagi
sambil membawa karangan bunga lily.
“Siang, detektif.” Sapanya riang.
Takagi menoleh, senyum lebar terpampang
di wajahnya. “Siang.”
“Kau sudah boleh pulang, kan, hari ini?”
Takagi mengangguk. “Aku sudah bosan
setengah mati.”
Miwako mencibir. “Siapa suruh menghirup
karbon monoksida sebanyak itu. Masih untung belum mati.”
Alis Takagi terangkat. “Kau ingin aku
mati?” Ia menunjukkan ekspresi pura-pura terluka.
“E-eh tentu tidak!” Sergah Miwako cepat.
Takagi mengacuhkannya. “Huh. Aku
terlanjur sakit hati.”
Miwako tertawa. “Apa yang bisa membuatmu
tidak sakit hati lagi?”
Takagi tampak berpikir sejenak. Ia
memegang dagunya sambil mengetukkan jari telunjuknya. “Sebuah ciuman, mungkin?”
Miwako tertawa terbahak-bahak. Tanpa
pikir panjang, ia berjalan mendekati Takagi, dan menciumnya tepat di bibir.
***
Yami?
Panggil
Yugi.
Apa?
Jawabnya.
Kita
tertangkap juga.
Yugi dapat merasakan Yami mendesah putus
asa. Aku tidak menyangka polisi itu
mempunyai ketiga kartu dewa phantom. Kata Yami.
Yugi mengangguk. Paling tidak, kita sudah melihat hasil fusionnya. The Creater God of
Light. Sungguh luar biasa.
Yugi merasakan Yami mengangguk. Kau bawa kartunya?
Bawa.
Tapi, aku ingin bermain-main dulu di penjara ini. Sepertinya para tahanan ini
lucu juga. Yugi terkekeh.
Yugi mendengar Yami berdecak. Terserahmu saja lah.
Yugi merogoh saku celana tahanannya. Ia
mengeluarkan kartu itu. Kartu yang akan melepaskannya dari ini. Ia tersenyum,
lalu memasukkan kembali kartu itu. Kartu itu sepenuhnya miliknya, dan tidak
akan ada yang bisa mengambilnya dari dia.
Teleport Card.
FIN