- Home »
- Juara 1 "Lomba Fanfic DCF 2015"
#DConanFamily
On Tuesday, August 4, 2015
Disclaimer:
Detective Conan © Aoyama Gosho
No Game, No Life © Yuu Kamiya
***
Checkmate,
God
a crossover fanfiction
by Aoshima Mina & Satoru Maeda
***
Putih.
Hanya itu pemandangan yang dapat kau
lihat di sepanjang jalan Kota Beika. Trotoar, pagar, pohon, rumput, atap rumah,
bahkan danau sekalipun, semuanya berwarna putih. Musim dingin tahun ini memang
salah satu dari yang terparah sepanjang sejarah. Tidak heran pemandanganmu
hanya dihiasi satu warna tanda kesucian itu.
Setengah berlari, dua orang remaja
bergerak menyusuri trotoar yang juga putih di hari ketiga pada tahun baru ini.
Keduanya menenteng plastik berisi barang hasil belanja di supermarket, stok
untuk beberapa hari ke depan. Tidak sempat mereka berhenti hanya untuk
mengobrol dan menikmati cuaca sebab tidak lama lagi, badai dikabarkan akan
melanda seluruh Jepang.
“Dimana kunci rumahku?” tanya si remaja
lelaki pada gadis di sampingnya. “Tadi aku menyerahkannya padamu, kan?”
“Iya, ada di dalam tasku.”
“Benar, ya? Aku tidak mau kejadian
kemarin terulang lagi,” ketus si pemuda.
Si gadis mendecak. “Tidak, kali ini
benar-benar ada,” kilahnya membela diri. “Jangan titipkan kuncimu padaku kalau
kau memang sulit memercayai orang lain.”
Pemuda itu balas terkekeh. “Bercanda,”
ujarnya sambil menarik lengan si gadis dengan tangannya yang bebas. “Ayo, lebih
cepat lagi.”
Gadis itu hanya mengangguk pelan sambil
berusaha menyembunyikan semburat merah di balik syal ungu tebal yang ia
kenakan.
Mereka terus berjalan hingga akhirnya
tiba di depan sebuah rumah besar yang lebih mirip rumah hantu. Gadis tadi
menyerahkan seluruh barang bawaannya pada si pemuda lalu cepat-cepat merogoh
tasnya, mencari benda kecil ajaib yang dapat membuka pagar tersebut. Dimasukkan
dan diputarnya kunci ke dalam lubang kunci. Setelah pagar itu terbuka,
cepat-cepat mereka berlari menuju pintu masuk, membukanya, dan menutupnya
kembali sebelum angin sempat masuk.
“Syukurlah, kita tepat waktu,” ucap si
gadis sambil mengintip lewat jendela yang ditutup tirai. Di luar sana angin
sudah bertambah kencang rupanya.
“Ya,” balas si pemuda sambil menekan
beberapa tombol di dekat pintunya. Tengah sibuk mengaktifkan sistem keamanan
rumah. “Kalau kau tidak berlama-lama menentukan saus apa yang akan dibeli, kita
dapat tiba lebih cepat untuk menyalakan api, Ran.”
Gadis yang dipanggil Ran itu tersenyum
kecil. Ia melangkah mendekati si pemuda lalu mengambil barang bawaannya. “Biar
aku yang bawa ini ke dapur, Shinichi.”
Shinichi hanya mendengus mendengar
perkataan Ran. “Buatkan makanan yang enak, ya,” pintanya masih ketus.
Ran tertawa pelan. “Baiklah, apa yang
kau mau untuk makan malam?”
“Apa saja yang enak.”
Ran tersenyum kecil. Tanpa berkata-kata
lagi, ia mengganti alas kakinya dengan sandal lalu melangkah memasuki kediaman
Kudou. Ia sudah hapal seluk-beluk rumah besar ini layaknya ia menghapal rumah
sendiri. Bagaimana mungkin ia tidak hapal? Semasa kecil mereka, Shinichi rajin
sekali mengajaknya bermain petak umpet di sini.
Selagi Ran sibuk dengan spatula dan
penggorengan, Shinichi melangkahkan kakinya menuju ruang keluarga Kudou. Ia
nyalakan mesin pemanas ruangan, alternatif saat tubuhnya terlalu malas untuk
berjongkok menyalakan api. Kebetulan, inilah saatnya.
Shinichi menghempaskan badannya di atas
sebuah kursi malas, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan dan
kenyamanan. Ia meraih remote televisi lalu menekan salah satu tombolnya.
Sialnya, badai mengacaukan seluruh
saluran televisi.
“Maaf menunggu lama,” ujar Ran sambil
berjalan memasuki ruang keluarga dengan membawa dua mangkuk bubur beralaskan
nampan di tangannya.
“Tidak apa,” jawab Shinichi sambil
memperbaiki posisi duduknya. “Tidak ada acara televisi yang dapat kita tonton,
sayangnya.”
Ran mengangguk paham. Ia duduk di
samping Shinichi lalu dengan sigap menggeser satu mangkuk bubur untuk pemuda
itu dan satu lagi untuk dirinya sendiri. “Aku heran,” ucap gadis itu sambil
memandangi bubur hasil racikannya. “Kenapa kau selalu membeli bubur instan?”
“Hei, aku hanya membeli apa yang aku
anggap enak,” tukas Shinichi tidak mau disalahkan. “Lebih baik aku membeli
bubur instan daripada bahan-bahan yang tidak jelas akan menjadi apa nantinya.”
“Lalu untuk apa aku menjadi koki
pribadimu selama satu minggu kalau yang kau sediakan hanya bubur instan?” balas
Ran sebal.
Koki pribadi bukan berarti Ran bekerja
kepada Shinichi, tentu saja. Dalam rangka menyambut tahun baru, kedua orang tua
Ran tengah menghadiri reuni SMA yang dilaksanakan di luar kota selama satu minggu.
Kogoro menitipkan Ran pada Profesor Agasa, akan tetapi orang tua itu harus
menghadiri kongres penting pada malam tahun baru sehingga beliau minggat
beberapa hari lalu. Akhirnya, mau tidak mau Ran 'diungsikan' ke kediaman Kudou,
ditinggalkan bersama Shinichi yang bernasib serupa.
“Kau tidak perlu memasak yang
rumit-rumit, kan? Bukankah aku justru menolongmu?” bantah Shinichi lagi. Ia
menyendokkan sesuap bubur ke dalam mulutnya. “Hei, ini enak sekali. Kau harus
coba.”
Ran menghela napas, lelah berdebat dengan
detektif SMA yang satu itu. “Selamat makan,” ucapnya sebelum menyuapkan sesuap
bubur ke dalam mulutnya yang berkapasitas kecil. “Sesuai dugaanku, makanan
instan tidak pernah mengandung bumbu yang sesuai.”
“Setidaknya praktis dan dapat dimakan,”
tandas Shinichi mengakhiri perdebatan mereka soal makanan.
Ran mendesah pelan. Berdebat dengan
Shinichi memang tidak akan pernah selesai selama pemuda itu belum menang. Gadis
itu kemudian memutuskan untuk diam. Ia coba menikmati kepulan asap hangat yang menyentuh
pipinya serta rasa manis kecap menari dalam mulutnya.
Setidaknya bagi Ran merasakan hal-hal
semacam itu lebih baik daripada adu mulut tanpa maksud dan tujuan yang pasti.
Di luar rumah, angin makin kencang.
Sesuai dengan apa yang diprediksikan berita pagi itu, badai salju benar-benar
terjadi. Kedua remaja itu hanya bisa berharap bahwa rumah besar beratap hitam
itu dapat melindungi mereka hingga badai ini berhenti.
“Eh...” Shinichi meletakkan sendoknya
terbalik, tanda ia sudah selesai makan. “Kalau tidak salah, profesor
meninggalkan sesuatu di sini sebelum dia pergi.”
“Meninggalkan apa?” tanya Ran sambil
memerhatikan Shinichi yang bangkit dari kursinya lalu berjalan menuju rak
terdekat.
Shinichi tidak menjawab. Ia mengambil
sebuah kotak dari atas rak tersebut lalu membawanya kembali ke kursi malas
tadi. “Aku sendiri tidak tahu apa ini,” tawa Shinichi sambil membongkar kotak
tersebut. “Kuharap sesuatu yang menyenangkan.”
Ran hanya membalasnya dengan senyuman
kecil.
Singkat cerita, akhirnya Shinichi
berhasil mengangkat isi dari kotak tersebut. Rupanya seperangkat mesin
permainan yang kelihatan terawat. Kemungkinan besar Agasa baru membuat atau
membelinya.
Untuk orang jenius macam Agasa, pilihan
pertama rasanya lebih meyakinkan.
“Pasti mainan aneh buatan profesor lagi,”
gerutu Shinichi sambil menelaah benda yang kini dalam genggamannya itu.
Shinichi mengangkat kepala dan menjatuhkan tatapannya pada mata Ran. “Bagaimana,
Ran? Tertarik untuk mencoba?”
“Kau coba saja duluan,” ujar Ran sambil
membawa dua mangkuk kosong yang tadi mereka gunakan untuk makan. “Aku akan
mencuci ini dulu.”
Shinichi mengangguk. Sementara gadis itu
pergi ke dapur, Shinichi dengan sigapnya menghubungkan berbagai kabel agar
mesin tersebut dapat digunakan. Selain mesin bentuk baloknya yang terdiri dari
kabel dan tombol berbagai warna, perangkat permainan ini juga dilengkapi dengan
dua joystick dan helm berbeda warna.
“Pasti permainan ini dibuat untuk
anak-anak itu,” gerutu Shinichi sambil mengurai beberapa kabel yang terbelit. “Cih,
dasar profesor kurang kerjaan.”
Anak-anak yang dimaksud Shinichi adalah
tiga orang anak kelas satu SD yang dengan bangganya menyebut diri mereka
sebagai 'grup detektif cilik'. Mereka bermarkas di rumah Agasa dan sering
sekali datang hanya untuk menagih permainan baru buatan profesor. Mungkin mesin
inilah salah satunya.
“Bagaimana? Bisa digunakan?” tanya Ran
begitu kakinya sudah membawanya kembali ke ruang keluarga Kudou.
“Tampaknya bisa tapi aku belum berhasil,”
jawab Shinichi sambil menghela napas. “Hei, Ran, apa menurutmu profesor membuat
permainan ini untuk anak-anak yang sering datang ke rumahnya itu?”
“Eh?” Ran menghampiri Shinichi sambil
memerhatikan lamat-lamat benda aneh yang ada di hadapannya. “Kurasa tidak. Benda
ini terlalu rumit untuk dapat dipahami anak-anak kecil.”
Tentu saja Ran benar. Berbagai kabel
warna-warni yang melilit mesin kecil itu jelas akan membuat anak-anak
kehilangan selera untuk bermain. Bahkan Shinichi—jika rasa penasarannya tidak
cukup kuat—akan buru-buru menyingkirkan benda itu dari pandangannya, dari
rumahnya kalau perlu. Sudah cukuplah ia, Ran, dan tumpukan buku Sherlock Holmes
di hadapan mereka.
Akan tetapi, Shinichi bukan orang yang
semudah itu menyerah.
“Bukankah ini tombol untuk
menyalakannya?” tanya Ran sambil menunjuk sebuah tombol berwarna merah yang
merupakan tombol terbesar pada mesin tersebut.
“Entahlah, aku belum mencobanya,” ujar
Shinichi tanpa melirik apa yang ditunjuk.
“Kalau begitu, kita coba saja,” putus
Ran sambil menekan tombol itu.
Dalam sekejap, seluruh lampu yang
menghiasi mesin balok itu menyala bergantian. Suara musik mengalun manis dari
lubang speaker yang entah ada dimana
itu. Bersamaan dengan menyalanya lampu pada mesin, menyala pula lampu pada dua
helm yang sejak tadi terabaikan. Lampu kedua joystick yang satu paket dengan helm itupun ikut menyala seolah
minta dimainkan.
Shinichi yang kesal dengan keberuntungan
Ran menatap gadis itu sambil menyipitkan matanya. “Kenapa mesin ini langsung
menyala begitu kau menekan tombolnya, sih?”
“Karena kau belum menekan tombolnya sama
sekali, kan?”
Shinichi menghela napas. Dia menyodorkan
helm berwarna merah muda lembut kepada Ran. “Bagaimana? Mau mencoba?”
Ran menerima helm tersebut sambil
mengangguk. “Kita pakai bersamaan, ya.”
Shinichi balas mengangguk. Ia ambil
satu-satunya helm yang tersisa lalu dengan kedua tangannya, ia letakkan helm
itu tepat di atas kepala. “Siap? Satu, dua, tiga!”
Mereka mengenakan helm itu bersamaan.
...
Tidak terjadi apa-apa.
“Oh, kita belum menekan tombol mulai
pada joystick-nya,” ujar Shinichi
sambil meraih joystick miliknya lalu
menekan tombol berbentuk segitiga.
...
Masih, tidak terjadi apa-apa.
“Mungkin kita seharusnya menghubungkan
mesin ini dengan televisi,” duga Ran sambil menunjuk televisi yang sejak tadi
dalam kondisi tidak aktif.
“Aku juga memikirkan hal yang sama
denganmu tadi,” balas Shinichi. “Anehnya, tidak ada satu kabelpun yang dapat
kugunakan untuk menghubungkan mesin ini dengan televisi.”
Ran mengangguk lalu kembali memerhatikan
mesin tersebut dengan seksama. Jika dilihat-lihat, mesin ini sebenarnya tidak
berbeda jauh dengan PlayStation,
hanya saja mesin ini tidak membutuhkan layar sebagai media visual.
“Hei, Shinichi,” panggil Ran hingga
membuat Shinichi mengangkat alisnya. “Mungkin ada tombol lain yang harus kita
tekan sebelum mulai bermain.”
Shinichi mengangguk setuju. Ia menunjuk
sebuah tombol yang sejak tadi berkedip-kedip. “Ini?”
Ran mengangkat bahunya.
Shinichi menekan tombol tersebut.
Kemudian seluruhnya gelap bagi mereka
berdua.
***
Ran
membuka matanya perlahan. Ia tidak lagi melihat kegelapan, ataupun ruang
keluarga kediaman Kudou. Ia hanya bisa melihat langit biru terang diiringi awan
putih yang bergerak ke sana kemari. Ia melihat ke bawah. Gravitasi ternyata
tengah menarik badannya untuk mencium tanah. Sialnya, baik badan maupun kakinya
tidak ada yang memijak benda padat apapun. Walau tahu usahanya sia-sia, Ran
berusaha menggapai udara. Tidak, ia tidak mau berteriak di sini. Matanya tidak
menangkap sosok siapapun, teriakannya tentu akan jadi percuma.
Tidak
ada tali, benda padat, ataupun sesuatu yang dapat ia gapai...
Ia
memejamkan matanya, pasrah.
HUP!
Eh? Apa ini yang menyentuh tanganku?
batin Ran heran sambil
perlahan-lahan membuka kelopak matanya. Rupanya hanya sebuah tangan besar nan
hangat yang menggenggam erat tangannya.
“Ran,
kau tidak apa-apa?”
Sedikit
tersentak, Ran mendongakkan kepalanya. “S-Shinichi?”
Pemuda
itu mendecak. “Siapa lagi?”
“B-bagaimana
ini?” tanya Ran sedikit berteriak dengan raut wajah ketakutan. “K-kita ada
dimana? Kenapa kita bisa s-sampai di sini?”
“Mana
aku tahu, Ran!” bentak Shinichi. Rupanya detektif muda ini juga ketakutan.
Tiba-tiba,
mereka lihat seorang anak kecil yang muncul entah darimana. Ia terbang mendekati
Shinichi dan Ran lalu berhenti tepat di hadapan mereka. “Hai, namaku Tet.
Selamat datang di Disboard,” sapa anak itu ramah.
“Disboard?”
ulang Shinichi dan Ran heran.
“Umm...
bagaimana kalian bisa sampai di sini?” tanya anak itu tanpa menghapus rasa
heran Shinichi juga Ran.
Shinichi
menggenggam tangan Ran lebih erat, mengisyaratkan gadis itu untuk diam dan
membiarkannya menjawab pertanyaan anak itu. “Kami sedang mencoba sebuah mesin
permainan aneh, lalu tiba-tiba kami sudah terjatuh dari ketinggian,” kata
Shinichi sambil menatap langsung mata Tet, seperti kebiasaannya saat mengungkap
kebenaran. “Tadi kau bilang Disboard, bukan? Apa itu?”
“Disboard
adalah dunia dimana semua ditentukan oleh game,”
jawab Tet cepat. “Aku, Tet, merupakan tuhan yang menguasai dunia ini.” Anak
kecil yang mengaku Tuhan ini pun melanjutkan. “Baik, berhubung kita sudah dekat
dengan tanah, akan kuberitahu sepuluh aturan Disboard yang wajib dipatuhi oleh
semua makhluk di sini.”
Tet
menarik napas panjang lalu menghembuskannya kembali.
Satu, segala pembunuhan, perang, dan
perampokan dilarang di dalam dunia ini.
Dua, semua konflik di dunia ini akan
diselesaikan dengan permainan.
Tiga, setiap pemain harus
mempertaruhkan sesuatu yang mereka anggap senilai dalam permainan.
Empat, selama itu tidak bertentangan
dengan nomor tiga, apa saja bisa dipertaruhkan, dan permainan apapun boleh
dimainkan.
Lima, pihak yang menantang memiliki
hak untuk menentukan peraturan.
Enam, setiap taruhan yang dibuat
sesuai janji harus ditegakkan.
Tujuh, konflik antar kelompok akan
dilakukan oleh perwakilan yang ditunjuk dengan otoritas mutlak.
Delapan, pihak yang tertangkap
melakukan kecurangan akan langsung kalah.
Sembilan, dengan nama Tuhan, aturan
sebelumnya tidak akan pernah diubah.
“H-hei!
Bagaimana dengan peraturan terakhir?” tanya Ran panik.
“Mm...
bukankah lebih baik jika kau menyelamatkan kami, Tet?” tanya Shinichi dengan
wajah datar sambil menunjuk-nunjuk daratan yang mulai terlihat jelas. Walau
berwajah datar, jantung pemuda itu sebenarnya sudah berdegup tanpa aturan.
“Sepuluh,”
ucap Tet dengan suara yang semakin menghilang. “Mari kita semua bersenang-senang
dan main bersama.”
Setelahnya,
tubuh anak kecil itu menghilang bersama hembusan angin.
Gravitasi
seolah berpihak kepada dua remaja asal Beika itu saat itu. Tepat saat keduanya
hampir menghantam tanah, aliran udara seolah menghentikan tubuh mereka sehingga
mereka dapat menurunkan kaki mereka dan berdiri tegak.
“Sial,
kupikir kita akan mati,” dengus Shinichi masih panik..
Mereka
lalu melihat sekeliling. Rupanya mereka jatuh di atas dataran tinggi semacam
bukit. Sekilas dunia ini tampak biasa saja, unik dengan beberapa papan catur raksasa
terlihat di beberapa sisi. Sebuah daratan besar terbang—mengapung
lebih tepatnya—di atas kepala mereka. Mata Shinichi dapat menangkap keramaian
di sana.
“Ran, bagaimana kalau kita kesana?”
tanya Shinichi sambil menunjuk ke arah kota.
“Terserahmu saja,” kata Ran sambil
memicingkan matanya agar dapat melihat kota itu lebih jelas.
Tidak ingin berlama-lama, mereka mulai
berjalan menuruni dataran tinggi itu. Mereka berjalan ke arah kota hingga
akhirnya sampai tidak dalam waktu lama. Kota ini lebih mirip desa, banyak orang
berjualan dan pejalan kaki. Tidak jauh berbeda dengan desa yang sering mereka
saksikan di televisi. Shinichi dan Ran terus berjalan di antara kerumunan, hingga
akhirnya sebuah tangan menepuk pundak Ran. Ran berhenti lalu menengok ke
belakang. Shinichi yang sadar Ran berhenti ikut menengok ke belakang sembari
berkata, “Hei, Ran! Ayo! Kita tidak punya wak— “
“Apakah kalian orang baru di sini?”
tanya seorang gadis berambut merah. Ia mengenakan semacam blus putih pendek
berpita yang memperlihatkan perutnya. Kakinya ditutupi dengan rok magenta di
atas lutut serta stocking putih
panjang. Matanya yang tengah menatap kedua remaja di hadapannya itu berwarna
itu biru terang. “Aku belum pernah melihat kalian di sini sebelumnya.”
“Siapa kau?” tanya Shinichi curiga
sambil mendorong Ran ke belakang tubuhnya, berusaha melindungi gadis itu dari perempuan
ini. Yah, tidak ada yang tahu baik atau jahatnya seseorang kecuali orang itu
sendiri, bukan?
“Aku? Hanya warga biasa,” jawab
perempuan itu datar. “Bagaimana kalian bisa sampai di sini?”
“Kami juga tidak tahu bagaimana,” jawab
Ran jujur, membuat mata Shinichi melotot kepadanya seolah berkata
kau-diam-saja-jangan-banyak-bicara.
“Hmm... begitu, ya,” tanggap gadis itu
sambil bertopang dagu. “Bagaimana kalau kalian ikut denganku ke istana?
Kebetulan raja dan ratu di sana mengalami nasib yang sama seperti kalian.”
Ran menatap Shinichi yang tampak tidak
menyukai gadis itu. Lewat tatapannya, Ran memaksa Shinichi untuk menurut saja
padanya karena dia bisa membedakan penjahat dan orang baik. Sebagai seorang
detektif bernaluri tajam, tentunya Shinichi tidak terima. Akan tetapi, demi
tidak melakukan adu mulut tidak penting dengan Ran di tempat seperti ini,
akhirnya Shinichi mengangguk dan berkata, “Baiklah.”
Satu kata yang cukup membuat Ran
tersenyum senang.
Selama perjalanan, wanita yang
memperkenalkan dirinya sebagai Stephanie Dola, mulai menjelaskan tentang
Disboard kepada Shinichi dan Ran. Dimulai dari mengapa Tet bisa menjadi Tuhan
dari dunia ini, Imanity yang hampir punah, juga tentang raja dan ratu ras Imanity—kakak
beradik Sora dan Shiro—yang ternyata bernasib mirip dengan dua remaja Beika itu.
Bedanya, Shiro dan Sora dipanggil langsung oleh Tet ke dunia ini.
“Wah, luar biasa sekali mereka sampai
dipanggil langsung oleh Tuhan,” komentar Ran dengan wajah kagum yang tidak
dibuat-buat.
“Begitulah.” Stephanie mengangkat
bahunya. “Mereka berdua tidak terkalahkan dalam permainan apapun. Mereka juga
yang membuat Imanity kembali bangkit.”
“Lalu, kau sendiri siapa?” tanya Shinichi
dengan wajah malasnya yang biasa.
“Aku? Aku cucu dari raja terakhir
sebelum Shiro dan Sora,” kata Stephanie sambil menengadahkan kepalanya ke
langit.
Tidak terasa, mereka telah sampai di
istana. Stephanie menuntun mereka ke arah ruangan raja. Dari jauh istana ini
terlihat kecil, padahal sebenarnya istana ini sangat besar. Entah berapa ratus
orang yang bisa masuk kesini. Seratus? Dua ratus? Seribu?
Ah, itu tidak penting.
“Kita telah sampai di ruangan raja,”
ucap Stephanie bangga. “Etto...” mendadak wajah bangganya hilang, digantikan
raut malu. “Mohon kalian maklumi tingkah raja dan ratu kami.”
Pintu kemudian terbuka dengan elitnya. Seberkas
cahaya menyeruak dari celah pintu itu, membuat ketiga orang ini harus menutup
mata mereka untuk menghindari kebutaan. Shinichi dan Ran memicingkan matanya, melihat
bayangan dua orang yang sedang berdiri di hadapan mereka. Ran sempat terpesona
melihat kedua bayangan itu sampai Stephanie berseru, “Oi, Sora! Sampai kapan
kau mau menyambut tamu dengan gaya seperti itu?”
Tiba-tiba cahaya itu hilang. Kini terlihatlah
jelas dua insan yang menjabat sebagai raja dan ratu Imanity, Sora dan Shiro.
Si pemuda terkekeh geli. “Tidak apa-apa,
kan?” katanya santai sambil menaruh sebuah remote. Ternyata cahaya itu berasal
dari lampu tembak yang ada di belakang Shiro dan Sora. “Ini membuat kami
terlihat keren.”
“Hm-hm. Keren,” kata si gadis,
mengiyakan perkataan abangnya.
Si pemuda bernama Sora—yang sudah pasti
adalah rajanya—memiliki rambut merah marun acak-acakan yang tampaknya tidak
pernah disisir. Pakaian yang digunakan pemuda itu tidak menampakkan gelarnya
sebagai raja, sebuah kaus biru tua lengan panjang yang ditutupi kaus kuning
lengan pendek bertuliskan huruf-huruf kanji serta celana gombrang seadanya.
Satu-satunya benda yang menunjukkan ‘raja’nya hanya mahkota—yang bahkan ia
tenteng dengan tangan.
Di sampingnya, berdiri seorang gadis
pendek yang kepalanya bahkan tidak mencapai pundak Sora. Lebih parah lagi,
gadis bernama Shiro ini bahkan mengenakan seragam sekolah lengkap dengan kerah
pelaut, pita oranye, dan stocking hitam
sebagai pakaian kerajaannya. Rambut putih keunguan panjangnya menutupi seluruh
punggung, membuatnya makin tampak mungil. Satu-satunya hal yang terlihat ‘ratu’
dari gadis ini hanya mahkota yang bertengger manis di kepala bagian kanannya.
Shinichi dan Ran terdiam dan mengerjap
bersamaan. Terlihat raut kebingungan menguar dari wajah keduanya. Sepertinya
mereka agak kaget melihat tingkah kakak-adik yang sama sekali tidak menunjukkan
wibawa seorang raja dan ratu itu.
“Anu,
Stephanie,” panggil Shinichi sambil menusuk-nusuk lengan atas milik gadis
bersurai merah itu. “Apa benar mereka raja dan ratu? Mengapa aku tidak yakin?”
Stephanie
tertawa pelan. “Mohon dimaafkan, ya,” ucapnya dengan nada tidak enak. “Mereka
memang selalu bertingkah aneh setiap hari. Kami yang tinggal bersama mereka
sih, sudah terbiasa dengan itu.”
“Nah,
jadi apa permasalahan tamu kita ini?” tanya Sora dari tempat ia berdiri. “Tunggu,
aku rasa aku belum pernah melihat kalian.”
“Kami
ingin kembali ke dunia asli kami,” tukas Ran cepat sebelum Shinichi sempat
membuka mulut.
“Wah,
wah, tentu saja itu mustahil,” kata Sora sambil berjalan mendekati Shinichi dan
Ran. “Kami yang berasal dari dunia lain saja belum ingin kembali, jadi mengapa
kalian harus buru-buru? Lagipula, hanya ada satu cara untuk keluar dari dunia
ini.”
“Bagaimana
caranya?” tanya Shinichi.
“Oooh,
tentu saja itu rahasia,” kekeh Sora. “Kalau kalian memang ingin tahu, kalian
harus mengikuti sepuluh aturan di dunia ini. Ah, apa kalian sudah bertemu
dengan Tet?” Sora memerhatikan raut wajah kedua tamu di hadapannya lalu
mengangguk. “Aku rasa kalian telah bertemu Tet. Ia juga pasti sudah memberitahu
kalian soal sepuluh aturan ini, bukan?”
“Baiklah,
baiklah.” Shinichi mengangkat tangannya tanda menyerah. Ia sendiri mulai kesal
dengan sikap Sora yang terlihat angkuh. “Permainan apa yang akan kita mainkan?”
“Lempar
koin!” sambar Shiro yang sejak tadi hanya diam melihat kakaknya berdebat dengan
pemuda sok itu.
Sora
tergelak. “Itu permainan yang sangat sederhana, Adikku,” balas Sora dengan nada
sayang sambil menatap adiknya yang berwajah polos itu. “Hmm... tapi boleh
juga.”
Raut
jengkel di wajah Shinichi berubah menjadi bingung, begitu pula dengan Ran. Apakah mereka benar-benar raja dan ratu? Apa
raja dan ratu memang bertingkah aneh? batin kedua remaja itu heran.
“Baiklah.”
Shinichi membuka suaranya. “Aku terima tantanganmu.”
Sora
kembali tertawa geli. “Oh! Sebelum itu, aku ingin makan dulu.” Tatapan matanya
berpindah dari dua remaja Beika menuju seorang gadis merah. Kemudian dengan
santainya ia berujar, “Steph, buatkan makanan untuk kami berempat, ya. Jangan
lupa untuk membuatnya seenak mungkin karena setelah ini akan ada turnamen lempar
koin paling menegangkan di Disboard.”
“Baikla—HEI!”
Marah, Stephanie menghampiri sang raja lalu berseru tepat di depan batang
hidungnya. “AKU BUKAN PEMBANTUMU!”
“Sudahlah, cepat buatkan. Kami lapar,” balas
Sora sambil melambai-lambaikan tangannya, tanda mengusir Stephanie.
Selama makan, Sora, Shiro, Ran, dan
Shinichi memperkenalkan diri masing-masing dan menceritakan kisah mereka hingga
bisa sampai di Disboard. Walau akan menjadi rival, entah mengapa makan siang
yang dihadiri keempat orang itu untuk pertama kalinya terasa cukup
menyenangkan. Stephanie pun hadir di sana, hanya duduk tanpa mencicipi satu
butir nasipun.
Perjamuan makan pun selesai. Shiro dan
Sora mengajak Shinichi dan Ran keluar ke taman istana untuk sejenak menikmati
udara segar. Ran melangkahkan kakinya di atas sebuah jalan setapak batu-batu
kotak yang tersusun rapi. Di sampingnya, Ran dapat melihat rumput hijau tumbuh
dengan manis serta beberapa semak mawar yang menyebarkan harum kemana-mana.
“Indah sekali,” komentarnya sambil terus berjalan, ditemani oleh Shiro yang
khawatir gadis itu tersesat.
Shinichi dan Sora tetap diam di bawah
sebuah pohon besar. Mulai kesal dengan penguluran waktu yang tidak jelas ini,
Shinichi bertanya, “Kapan lempar koin akan dimulai?”
“Wah, wah, kelihatannya ada yang sudah
tidak sabar untuk bermain,” kata Sora dengan cengiran di wajah sambil
mengangkat bahunya.
“Hm-hm. Tidak sabar,” sahut Shiro yang
sudah selesai memutari taman bersama Ran.
“Oh, sudahlah! Jangan buang-buang waktu
kami! Kami hanya perlu keluar dari duniamu!” geram Shinichi. Raut wajah jengkelnya
yang sempat hilang kini kembali lagi.
“Baiklah, baiklah, tampaknya kau memang
tidak bisa diajak berkompromi,” ujar Sora sambil mengibaskan tangannya. “Mari
kita buat kesepakatan dulu. Jika kalian menang, aku akan memberitahu kalian cara
untuk keluar dari dunia ini. Akan tetapi, jika kalian kalah, kalian harus
menjadi ‘bidak’ kami. Cara bermainnya, kau boleh menebak sisi koin mana yang
akan keluar terlebih dahulu, dan aku akan mengambil sisanya.” Sora menjelaskan
taruhannya sambil mengeluarkan sebuah koin. “Bagaimana, setuju?”
“Le-lebih baik kita cari jalan keluar
lain saja Shinichi,” bisik Ran sambil memegang lengan baju Shinichi. “Coba bayangkan
jika kita kalah, kita akan jadi bidak! Aku bahkan tidak tahu apa itu bidak.”
“Tenang saja Ran,” kata Shinichi dengan
tingkat percaya diri tinggi diiringi raut wajah sombong nan menjengkelkan. “Peluang
kita untuk memenangkan permainan seperti ini adalah lima puluh persen. Jadi,
dengan memanfaatkan lima puluh persen yang ada, pastinya kita dapat menang
dengan mudah.”
“Hoo, boleh juga,” angguk Sora, sambil menegadahkan
kepalanya, tanda ia meremehkan Shinichi dan Ran. “Jadi, bagaimana?”
“Kami terima,” tukas Shinichi.
“Hei!” Kesal, Ran meninju pelan bahu
Shinichi. “Bagaimana kalau kita kalah?”
“Baik, katakan Aschente bersama-sama sambil mengangkat tangan baru aku akan
melempar koinnya,” kata Sora sambil menunjukkan koin emasnya.
“Aschente!”
seru mereka berempat bersamaan—walau Ran menyebutkannya dengan ragu—sambil
mengangkat tangan. Koin lalu dilempar dan memutar di udara. Shinichi, masih
memperlihatkan wajah sombongnya, menatap gadis di belakangnya. “Ran, tebaklah. Aku
percaya padamu.”
“E-eh? A-aku?” Ran bertanya gugup. “Umm,
kepala.”
“Baiklah, kalau begitu kami memilih
ekor,” kata Sora dengan wajah yang sama sombongnya dengan Shinichi.
Koin itu menyentuh jalan setapak,
memantul beberapa kali, lalu akhirnya berhenti dengan posisi berdiri,
tersangkut diantara dua batu. Ran terkejut dengan hasilnya, tetapi tidak dengan
Shinichi, Sora, dan Shiro, seakan mereka sudah tahu bahwa hasilnya akan seperti
ini.
“K-kenapa bisa begini?” Ran menatap
pemuda di depannya bingung. “Shinichi, kau sudah tahu, ya, akan begini
jadinya?”
“Tentu saja aku tahu,” jawab Shinichi
sambil menatap kakak beradik di hadapannya. “Pertama, kenapa mereka yang tahu
cara untuk keluar dari dunia ini, masih ada di dunia ini? Sebenarnya bisa saja
karena mereka adalah raja dan ratu Imanity atau mereka benar-benar tidak tahu.
Akan tetapi, dari caranya berbicara dan taruhan yang ia ajukan, mereka
menunjukkan sendiri bahwa mereka tahu jalan keluar dari sini. Hanya saja, cara
untuk menemukan jalan keluar itu sangat sulit untuk dilalui,” lanjut Shinichi
menjelaskan hipotesanya.
“Maksudmu apa, sih?” tanya Ran jengkel. “Jangan
membuatku bingung!”
“Satu-satunya cara untuk keluar dari
sini adalah mengalahkan sang Tuhan, yaitu Tet.” Shinichi menolehkan kepalanya,
menatap kakak beradik tidak mirip di sana dengan tatapan angkuh. “Bukankah
begitu, Raja dan Ratu Imanity?”
Suara tepuk tangan terdengar dari arah
Shiro dan Sora.
“Ping pong! Kau benar!” ujar Sora dengan
senyum angkuh. “Aku terkesan.”
“Hebat!” puji Shiro sambil mengacungkan
jempolnya.
“Memang benar, untuk keluar dari dunia
kita harus mengalahkan Tet,” ujar Sora, memperjelas hipotesa Shinichi. “Untuk
mengalahkan Tet, kita harus berhasil mengajak semua ras di Disboard untuk
melawannya.” Pemuda berambut marun itu diam sejenak. “Jadi, berhubungan dengan
permainan sederhana tadi, bagaimana hasilnya menurut kalian?”
“Mana yang lebih kau suka? Sama-sama
menang atau seri?” Shinichi balik bertanya.
“Tidak ada seri dalam pertaruhan kita.” Sora
berujar sambil mengibaskan tangannya. “Sama-sama menang, oke? Berarti kalian
harus menjadi ‘bidak’ kami sebab kami sudah memberitahu kalian cara untuk
keluar dari sini.”
“Sebenarnya, bidak itu apa, sih?” tanya
Ran yang sejak tadi hanya bisa memasang wajah bingung pada Shinichi. Akan
tetapi, Shinichi tidak menjawabnya. Pemuda itu sibuk mengerutkan dahinya,
berpikir keras seperti yang biasa ia lakukan ketika menemukan kasus yang sulit.
Sora tergelak melihat adegan itu. “Bagaimana?
Kalian mau menghitung ini sebagai sama-sama menang atau kita ulang lagi lempar
koin paling menegangkan ini?”
“Huh, kau tentunya sudah tahu jawaban
kami,” ujar Shinichi yang disambut dengan kekehan pelan Sora. Masih dengan
wajah sombong, Shinichi berkata, “Mohon bimbingannya kalau begitu.”
“Eeh? Shinichi? Kenapa kau justru menyerahkan
diri padanya?” tanya Ran panik. Yah, bisa dibilang logika Ran tidak selancar ketiga
orang yang tengah berdiri di hadapannya.
“Sudah, ikuti saja aku!” balas Shinichi setengah
memaksa.
Masih bingung, akhirnya Ran memutuskan
untuk menurut dan membungkuk. “Mohon bimbingannya juga.”
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang
sedari tadi memperhatikan mereka dari balik pepohonan. Orang itu tak lain dan
tak bukan adalah Tet, Tuhan dari dunia Disboard. Ia tersenyum. Sambil perlahan
menghilang bersama angin, ia berkata, “Aku menunggu kalian.”
***
Melatih
orang awam untuk bermain sama sekali bukan keahlian Sora, apalagi Shiro. Selama
ini, dirinya selalu menguasai permainan dengan kemampuan juga usaha sendiri tanpa
dibantu siapapun. Jika gagal, ia akan mencoba terus hingga berhasil. Sora tidak
pernah gagal lebih dari tiga kali dalam memainkan sebuah permainan.
Tidak
seperti pasangan aneh yang baru tiba di Disboard ini.
Catur
yang membutuhkan analisis tingkat tinggi—hal yang menjadi kekuatan Shinichi—pun
tidak dapat Shinichi dan Ran taklukkan. Di luar dugaan Shinichi, Shiro yang
banyak diam rupanya melatarbelakangi seluruh strategi permainan dan dapat
menebak langkah yang diambil Shinichi dengan mudah.
Shinichi
dan Ran kalah telak dengan lima belas kekalahan beruntun.
Selanjutnya,
permainan menembak yang membutuhkan ketelitian serta keberuntungan—sesuatu yang
Ran miliki—juga dimenangkan oleh Sora dan Shiro. Lagi-lagi di luar dugaan
Shinichi, Shiro lah yang lebih menguasai permainan. Gadis kecil itu seolah
berubah seratus delapan puluh derajat begitu memegang rifle atau machine gun.
Lagi-lagi
duo remaja Beika itu kalah walau hanya delapan kali berturut-turut.
Shinichi
kembali menantang Sora bermain lempar koin, satu-satunya permainan yang membutuhkan
keberuntungan. Tentu saja detektif muda itu menunjuk Ran yang ‘rajin’ beruntung
untuk menentukan pilihan mereka. Seperti biasa, Sora dan Shiro selalu mengambil
pilihan sisa.
Sialnya,
entah trik apa yang digunakan Sora, mereka hanya bisa memenangkan dua dari
sebelas permainan.
Putus
asa dengan kekalahan parah yang dialami pasangan itu, Sora memutuskan untuk
membiarkan lawannya yang memilih permainan. Ran menantang duo Imanity itu
dengan permainan karate yang entah mengapa disambut dengan tidak antusias oleh
keduanya. Barulah Shinichi mengetahui kenyataan begitu permainan dimulai.
Kedua
manusia hikikomori itu tidak mahir
berolahraga, apalagi bela diri. Ran yang memang sudah hampir mencapai sabuk
hitam dengan mudahnya dapat menaklukkan kedua orang itu bahkan tanpa bantuan
Shinichi—pemuda ini hanya menendang Sora satu kali. Mudah sekali menentukan
hasil akhir bagi Shinichi.
Kemenangan
telak tiga kali berturut-turut bagi tim Shinichi-Ran.
“Baiklah,
sejauh ini hanya satu permainan yang kalian kuasai benar-benar,” ujar Sora
setelah mereka kembali ke istana Imanity. “Beruntungnya kalian, permainan itu
dapat kalian gunakan untuk menantang beberapa ras. Sisanya, kalian benar-benar
payah, tahu? Padahal permainan yang harus kalian kuasai betul-betul adalah
catur sebab Tet hanya dapat dilawan dengan itu.”
“Aku
dan Shinichi cepat belajar, kok!” sanggah Ran. “Dengan beberapa hari bermain
dan berlatih secara bersamaan, kita pasti dapat menguasai seluruh Disboard
dalam waktu singkat!”
“Aku
cepat belajar,” sahut Shinichi. “Kau tidak.”
Ran
menggembungkan pipinya. “Seenaknya kau bicara!”
“Ohoho,
perdebatan yang menarik.”
Terkejut,
keempat manusia itu mendongakkan kepala mereka. Di sana, anak kecil berwajah
ramah tengah duduk santai, mengapung-apung di udara. Perlahan ia turun dari
ketinggian, menyejajarkan kepalanya dengan Shiro walau dalam posisi tetap
mengapung.
Tet.
“Apa
yang kau lakukan di sini?” tanya Sora dingin diiringi tatapan sinis terhadap
anak kecil itu.
“Uh,
nada bicara yang tidak sopan sekali untuk Raja Imanity yang kuundang kemari,” komentar
Tet sambil bergidik ngeri. “Tampaknya kalian berempat sudah siap menghadapiku,
ya? Bagaimana kalau kita tentukan hari permainan?”
“Ras
belum bersatu,” ucap Shiro datar.
“Benar
juga,” balas Tet sambil menopang dagunya dengan tangan kiri. “Baiklah, aku
tantang kalian untuk bermain catur melawanku satu bulan setelah kalian berhasil
menyatukan semua ras. Oh ya, sebagai orang yang menantang kalian dalam
permainan ini, maka aku yang akan menentukan aturannya. Pertama, aku ingin permainan
catur satu lawan satu.”
Semua
hening.
“Kedua,”
lanjut Tet. “Aku ingin melawan salah satu di antara kalian.”
Sora
tersenyum mendengarnya. Tentu saja ia akan mengirim adik kecilnya untuk melawan
Tuhan Disboard yang tidak jelas asal-muasalnya itu. Tidak ada pemain catur yang
lebih baik dari Shiro di dunia ini.
“Ketiga,”
kembali Tet melanjutkan. “Aku yang akan menentukan lawanku nanti.”
Sora
menelan ludah. Tet pasti tahu kemampuan adiknya dan tidak mungkin Tet akan
mengumpankan dirinya sendiri kepada jagoan catur macam Shiro.
“Dan,”
Tet memamerkan senyum liciknya. “Aku ingin orang itu adalah dia!”
Tet
mengarahkan telunjuknya melewati Shinichi.
...
“APA?!”
Tet
tersenyum sinis. “Baiklah, mungkin itu saja dariku untuk hari ini,” katanya
santai. “Sampai bertemu di permainan terakhir.”
Setelah
Tet selesai berkata-kata dan pergi dari istana Imanity, Sora, Shinichi, dan
Shiro segera mendudukkan Ran di salah satu kursi yang tersedia. Ran hanya bisa
diam, bingung harus berkata apa dalam situasi semacam ini; menegangkan
sekaligus menakutkan.
Jantungnya
seolah berhenti saat Tet menunjuknya untuk bermain catur satu lawan satu pada
permainan terakhir nanti.
Dirinya
bahkan tidak tahu apa-apa tentang catur!
“Ran,
jawab,” ujar Shinichi dingin. “Apa kau tahu maksud dari ‘skak’?”
Ran
mendongakkan kepalanya lalu menggeleng pelan.
“Sial!”
umpat Sora sambil meninju salah satu pilar ruang singgasana. “Dia pasti tahu
kalau aku, Shiro, juga si detektif itu masih memiliki kemungkinan untuk
mengalahkannya dalam permainan!”
“Curang,”
komentar Shiro singkat.
“A-aku
tahu mungkin aku yang paling tidak berguna di sini,” ucap Ran pelan. “T-tapi...
masih banyak waktu sebelum permainan, bukan? A-aku bisa berlatih catur sebelum
melawan Tet di permainan terakhir nanti.” Gadis itu tersenyum lalu memandang
ketiga orang jenius di hadapannya. “Dan aku tahu kalian mau menolongku, bukan?”
“Ini
tidak akan mudah,” tanggap Shinichi sambil menyilangkan tangannya di depan
dada. “Kau sama sekali tidak tahu apa-apa tentang catur, Ran. Apa kau yakin
dalam waktu beberapa bulan kau akan bisa menyerap semua informasi yang aku,
Sora, dan Shiro berikan?”
“Aku
sudah bilang kalau aku dapat belajar dengan cepat,” tegas gadis itu.
“Tidak
ada pilihan lain,” sahut Sora dengan nada putus asa. “Baiklah, kami akan
melatihmu hingga kau bisa mengalahkan Shiro dalam permainan.”
Ran
tersentak. “M-mengalahkan Shiro?”
“Tet
lebih hebat,” ucap Shiro.
“Ya,”
angguk Sora. “Menang melawan Shiro belum tentu menang melawan Tet, tetapi
setidaknya kau selangkah lebih dekat menuju kemenangan.”
“Juga
selangkah lebih dekat menuju jalan pulang,” sambar Shinichi diiringi senyum.
“Kau siap untuk belajar dan pulang ke Beika, Ran?”
***
Keesokan
harinya, Ran mendata nama seluruh ras yang ada di Disboard. Old Deus,
Phantasma, Elemental, Dragonia, Gigant, Flugel, Elf, Dwarf, Fairy, Ex-machina,
Demonia, Vampire, Lunamana, Warbeast, Seiren, dan Imanity. Berdasarkan
perkataan Shiro, dari lima belas ras yang ada, Imanity sudah menaklukkan tiga
ras yaitu Flugel, Elf, dan Warbeast. Itu artinya, Shinichi dan Ran harus berjuang
menaklukan dua belas ras lainnya sebelum dapat melawan Tet.
“Sora
bilang, daftar ini diurutkan berdasarkan kekuatan ras masing-masing,” ujar
Shinichi sambil menunjuk daftar yang ditulis Ran. “Berarti, Seiren bisa
dibilang adalah ras paling lemah yang ada di Disboard.”
“Jadi,
kita harus menaklukkan ras mereka dimulai dari bawah hingga atas?”
“Hmm...
mungkin akan lebih mudah begitu.”
“Kenapa
kita tidak menaklukkan mereka dengan memainkan permainan yang menjadi kelemahan
mereka?”
“Ran,
mereka tidak bodoh,” balas Shinichi sambil menggelengkan kepalanya. “Yang akan
kita taruhkan di sini adalah wilayah kekuasaan mereka. Mereka tidak akan
semudah itu menyerahkan wilayahnya, apalagi dengan memainkan permainan yang
paling tidak mereka kuasai. Kita harus bermain dengan permainan yang paling
mereka kuasai.”
“Begitu,
ya?” gumam Ran sambil memandangi tulisan tangannya.
Secara
keseluruhan, permainan yang dapat digunakan Shinichi dan Ran untuk menaklukkan
ras-ras lain di Disboard adalah...
Catur.
Lempar
koin.
Dengan
berbekal beberapa buku tentang catur, berangkatlah Shinichi, Ran, Sora, dan
Shiro menuju arena catur terdekat dari Seiren. Sengaja, keempat orang ini ingin
mengundang rasa penasaran ras itu lalu menantang mereka dalam permainan.
Rencana
sederhana yang brilian sebenarnya.
“Pertandingan
pertama, aku-Shiro melawan Shinichi-Ran,” ujar Sora. “Tim kalian boleh pilih
hitam atau putih.”
“Putih,”
ucap Ran setengah ragu. Dia menatap Shinichi yang hanya diam mendengar
pilihannya. “Tidak apa-apa, kan?”
Shinichi
mengangguk. “Aku sambil menjelaskan, ya,” ucap Shinichi yang disambut dengan
anggukan cepat Ran. “Putih selalu mendapat giliran pertama, diikuti oleh hitam.
Dari enam belas bidak catur yang ada, hanya sepuluh bidak yang dapat kau
gerakkan pada giliran pertama.”
Ran
kemudian bermain. Perlahan-lahan ia ikuti petunjuk dari Shinichi—bukan berupa
strategi, hanya petunjuk pergerakan dan istilah. Di hadapan gadis itu, berdiri
Sora yang menggerakkan bidak demi bidaknya sesuai bisikan Shiro di belakangnya.
Khusus untuk permainan catur pertama bagi Ran, ia mempermudah jalannya. Dengan
strategi yang brilian, gadis kecil itu membuat Ran menghadapi seluruh kejadian
yang mungkin terjadi dalam catur.
“Dan
akhirnya, skak mat.” Sora mengakhiri permainannya dengan kekalahan telak di
pihak Ran. “Permainan yang lumayan untuk seorang pemula.”
Ran
tersenyum. Kekalahan kali ini tidak menyakitkan baginya sebab ia tahu, ini
adalah bagian dari latihan untuk permainan terakhir. Gadis itu membalikkan
badannya, menghadap Shinichi. “Bagaimana permainanku tadi?”
“Cukup
bagus.” Shinichi mengangguk sambil bertopang dagu. “Analisismu kurang tajam,
Ran. Hanya itu yang perlu dilatih.”
“Ada
seseorang di sana,” ucap Shiro tiba-tiba sambil menunjuk pantai yang letaknya
tidak jauh dari papan catur tersebut.
“Siapa
namamu?” tanya Ran ramah pada Seiren yang bersembunyi itu.
“Laira.”
“Laira,”
ulang Ran sambil mengangguk. “Aku Ran, tertarik untuk bermain bersama?”
Seiren
itu—Laira—menatap Ran ragu. Ia kemudian bertanya dengan suara pelan, “Bermain
catur melawanmu?”
“Tentu
saja,” anggukku.
“Apa
taruhannya?”
Ran
mengerjap. “Apa, ya...” gumamnya bingung. “Bagaimana kalau kau ikut saja dulu
ke sana? Biar Sora yang tentukan taruhannya.”
“Sora?”
Tiba-tiba saja Laira mengerutkan dahinya. “Raja Imanity itu? Tidak mau.”
“Eh?”
“Dia
hanya akan menguasai wilayahku,” balas Laira dengan wajah kesal. “Tidak, aku
tidak mau bermain dengannya. Aku juga tidak mau bermain denganmu kalau kau ada
di bawah pemuda sok itu.”
“Hoo,
jadi kau takut melawanku?” tanya Sora yang ternyata sudah berada di belakang
Ran. “Atau jangan-jangan, kau takut melawan orang yang baru datang ke dunia
Disboard ini?” lanjut Sora sambil menunjuk Ran.
“Aku
tidak takut, tapi aku tahu kau adalah Imanity busuk yang hanya menginginkan
wilayahku,” jawab Laira dengan raut wajah tetap datar, namun ada sedikit
kebencian terpancar dari intonasinya saat berbicara.
“Busuk?
Wah, wah, tidak bisakah kau lihat aku masih segar begini?” tanya Sora dengan
nada mengejek. Sebuah senyuman licik terpampang di bibirnya. “Kalau kau memang
tidak takut, bagaimana kalau kita bertanding?”
“Aku
kan sudah bilang, aku tidak akan bertanding dengan kalian!” raut wajah Laira
yang awalnya datar mulai berubah menjadi kesal.
“Baiklah,
baiklah, aku mengerti. Dasar pengecut!” kata Sora sambil membalikkan badannya.
“Ayo Ran, kita kembali berlatih saja. Tidak ada gunanya berbicara dengan
pengecut yang takut kepada ras terendah seperti kita.”
“AKU
BUKAN PENGECUT!” sebuah teriakan terdengar. Teriakan penuh amarah, yang bahkan
membuat burung-burung di sekitar pantai itu berterbangan. Aura membunuh keluar
dari tubuh Laira. Ia benar-benar marah. “Baik! Aku terima tantanganmu!”
Senyum
licik terpampang di bibir Sora. “Baiklah, kalau begitu kita bertanding renang!”
putus Sora sambil membalikkan badannya, menghadap ke Laira. Aura membunuh Laira
tiba-tiba menghilang. Amarahnya berganti dengan gelak tawa yang sangat keras membuat
Sora dan Ran menatap gadis Seiren itu bingung.
Gelak
tawa itu berlangsung cukup lama, sampai akhirnya Laira sadar bahwa dua orang di
depannya masih sibuk menatapinya.
“Ah,
maaf, maaf. Perutku tiba-tiba geli karena kau menantangku berenang. Tak tahukah
kau? Aku ini Seiren, seorang duyung, aku bisa berenang di air lebih cepat dari
manusia,” kata Laira sambil menghapus air matanya yang keluar akibat tertawa.
“Berarti,
kau tidak takut kan, melawan kami?” tanya Sora, masih dengan senyum licik
terpampang di bibirnya
“Baik,
aku terima. Apa taruhannya?”
“Jika
kau menang, kau boleh meminta apapun kepada kami, bahkan meminta kami terjun
dari tebing itu dan mati,” kata Sora sambil mengacungkan jari telunjuknya.
“Tetapi,” Sora melanjutkan. “Jika kau kalah, kami boleh meminta apapun dari
dirimu. Bagaimana?”
Tampak
sedikit keraguan di wajah Laira, tetapi setelah itu dia tersenyum dan berkata,
“Oke, aku terima.”
“Bagus
bagus! Seiren memang tidak mengecewakan!” kata Sora. Setelahnya, pemuda
bersurai marun itu memanggil Shinichi dan Shiro yang masih belum juga beranjak
dari papan catur raksasa tadi.
“Jadi
bagaimana?” tanya Shinichi pada si raja Imanity. “Kita jadi bermain?”
“Tentu
saja,” angguk Sora disertai gelak tawa. “Duyung itu akan bertanding satu lawan
satu dengan kita dalam adu renang.”
“Dan...”
Shinichi memiringkan kepalanya. “Siapa yang akan melawan dia?”
Sora
mengedikkan kepalanya, menunjuk Ran. “Pacarmu.”
“Eeeh?
A-aku?” Ran terhenyak mendengar dirinya ditunjuk. “Aku tidak mungkin menang
melawan duyung!”
“Jangan
bodoh!” sambar Shinichi yang tidak suka dengan keputusan mendadak Sora. “Ran
itu atlet karate, bukan renang. Mengirimnya untuk berlomba renang dengan
seorang duyung, kau pikir dia tidak akan mati?”
“Iya,
itu—“ Ran cepat-cepat menatap Shinichi. “Seenaknya kau bicara! Aku tidak mungkin
mati gara-gara berenang, ya, Shinichi!”
“Sudahlah,
cepat sana,” kata Sora tanpa menghiraukan perkataan dua sejoli itu sambil
mendorong Ran.
Awalnya
Ran gugup, namun melihat sorot mata Sora dan senyuman licik di bibirnya, ia tahu
kalau pemuda ini mempunyai rencana yang matang. “Baiklah,” kata Ran sambil
melangkah ke samping Laira.
“Kalian
berenanglah dari sini ke pulau di sana,” kata Sora sambil menunjuk sebuah pulau
di ujung pandangan mereka. “Lalu kembali ke sini, ini adalah garis finish kalian,” lanjut Sora sambil
menggambar sebuah garis menggunakan kakinya.
“Jadi
aku hanya perlu berenang ke pulau itu lalu kembali lagi ke sini, kan?” ulang
Laira yang disambut dengan anggukan Sora. “Mudah sekali.”
Shinichi
dan Shiro menghampiri Ran.
“Hati-hati,”
pesan Shiro.
“Hei,”
ucap Shinichi. “Kalau tidak kuat, kau tidak perlu memaksakan diri untuk menang,
Ran.”
Ran
hanya mengangguk pelan menanggapi ucapan Shinichi.
“Tidak
usah melankolis begitu, dia tidak akan mati, kok,” ujar Sora santai.
“Huh,
aku harap kau tidak menyesali ini,” kata Laira sombong sambil menonton adegan
singkat di sampingnya itu.
“Tidak
akan, kok,” sambar Sora. “Sudah cepat katakan kata-kata itu.”
“Aschente!” teriak Ran dan Laira
bersamaan sambil mengangkat tangan.
Secepat
kilat, keduanya berlari lalu terjun ke dalam air. Mereka berdua berenang dengan
kecepatan seimbang. Benar-benar seimbang. Laira tampak terkejut dengan
kemampuan Ran. Ia tidak percaya ada Imanity yang mengimbangi kecepatan
berenangnya. Akibat rasa gengsi, ia kemudian mengubah kakinya menjadi ekor
menggunakan sihir duyung. Laira melaju cepat, meninggalkan Ran jauh di belakangnya.
Ia tersenyum bangga seakan sudah menang. Gadis Seiren itu akhirnya sampai di
dekat pulau.
Ia
menyentuh salah satu batu karang di pulau, tanda akan mulai berenang ke garis
akhir. Saat berbalik, ia tersentak. Ran sudah ada di sampingnya dan sedang
berenang kembali ke arah Sora. Laira terdiam untuk beberapa saat. Tercengang,
kaget, dan heran, mungkin itu yang ia rasakan. Gadis Seiren itu tiba-tiba sadar
bahwa ia sedang berlomba dengan Ran. Ia kembali berenang, mengayunkan ekornya dua
kali lebih cepat. Laira mulai menyamai Ran. Posisi mereka kini seimbang.
Perlombaan
ini terlihat lebih sengit daripada yang diperkirakan. Laira dan Ran saling
menyusul satu sama lain. Ketika mereka sudah dekat dengan pantai, Laira
menyunggingkan senyuman licik dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencapai
pantai. Di belakangnya, Ran sedang berenang dengan sekuat tenaga.
Laira
akhirnya sampai di pantai. Dengan bangga, ia mengepalkan tangannya lalu meninju
udara di sekitarnya. Tak lama, Ran sampai. Ia tersenyum licik kepada gadis
Imanity itu, namun Ran tidak menghiraukannya. Ran justru berlari menjauhi
pantai, meninggalkan Laira yang hanya bisa terbengong-bengong melihatnya. Laira
menengok ke belakang dan menyadari bahwa garis akhir tidak berada di pinggir
pantai, tetapi di samping Sora. Ia berusaha bangkit. Akan tetapi, ia terjatuh sebelum
sempat berdiri tegak. Rupanya ia lupa mengubah ekornya kembali ke tubuh manusia.
Ran
sampai di garis akhir, gadis Seiren itu telah kalah.
Laira
mengubah ekornya kembali menjadi kaki lalu berjalan ke arah Sora. Raut wajah
kesalnya kembali. “Kau curang!” maki Laira. “Kenapa kau tidak beritahu kalau
ini garis finish-nya?!”
“Loh,
aku kan, sudah mengatakannya dengan jelas tadi,” kata Sora dengan senyum penuh
kemenangan. “Aku bahkan menggarisinya di depan matamu, tidakkah kau ingat?”
tanya Sora.
“Mana
mungkin aku ingat! Kau memancing amarah—“ Laira tersentak. Ia
baru menyadari tujuan di balik sikap Sora kepadanya.
“Sepertinya kau sudah menyadarinya, ya?”
senyum Sora licik. “Aku sengaja memancing amarahmu dan membuatmu merasa seakan
kau sudah menang karena kau ahli dalam berenang,” kata Sora sambil mendekat ke
arah Laira. “Saking sombongnya, kau bahkan tidak menyadari kalau aku menggambar
garis finish ini dengan kakiku.”
“Sial,” Laira mengumpat dengan suara
bergetar. Matanya berkaca-kaca dan tangannya mengepal. Seluruh tubuhnya bergetar
menahan tangis. “Baiklah, sekarang kau boleh mengatakan permintaanmu, meskipun
aku tahu apa itu.”
“Baiklah, kalau begitu aku meminta kau
menjadi ‘bidak’ku untuk melawan Tet,” kata Sora sambil mengangkat kembali
kepalanya.
“E-eh? Bukankah kau ingin mengambil
wilayahku?” tanya Laira sambil menengadah, menatap raja Imanity itu heran.
“Siapa bilang? Aku kan, hanya bilang
kalau aku boleh meminta satu permintaan jika aku menang,” jawab Sora. “Lagipula,
tidak ada gunanya aku mengambil wilayahmu, hanya akan menyusahkanku ketika
mengurusnya.”
“Huh, baiklah, aku kalah telak,” kata
Laira. “Aku akan membantumu melawan Tet. Nah, sekarang, apa aku boleh kembali
ke wilayahku?”
“Tentu saja,” angguk Sora.
Secepat kilat, Laira menghilang dari
pandangan keempat manusia itu.
***
Tujuh
bulan kemudian, Ran terbangun di salah satu kamar istana Imanity.
Tidak
ia sangka bahwa ia dan Shinichi berhasil menyatukan ras di seluruh penjuru
Disboard hanya dalam waktu enam bulan. Memenangkan permainan melawan para
pemimpin ras memang tidak mudah, tetapi memanipulasi pikiran mereka seperti
yang empat Imanity itu lakukan terhadap Laira rupanya mudah sekali.
Kini,
Sora memiliki lima belas ras dalam genggamannya—suatu hal yang masih sulit ia
percayai hingga kini.
“Halo,”
sapaan seseorang membuyarkan lamunan Ran.
“Eh?”
Ran mendongak dan menemukan Shinichi yang sedang berdiri di ambang pintu
kamarnya sambil bersandar dan menyilangkan tangan di depan dada. “Hai.”
“Masih
khawatir soal permainan hari ini, ya?”
Ran
mengangguk lesu. Diremasnya selimut yang ia kenakan untuk tidur sambil
menggumam tidak jelas. “Kalau kalah... aku—“
“Bukan
salahmu,” tegas Shinichi memotong ucapan gadis itu. “Mungkin kita hanya harus
berusaha lebih keras sebelum melawan anak kecil itu.”
Ran
kembali menganggukkan kepalanya. Yah, sebenarnya dalam tujuh bulan ini
kemampuan bermain catur Ran sudah meningkat dengan cukup pesat. Pada permainan
terakhirnya, strategi yang digunakan Ran berhasil mengalahkan strategi andalan
Shiro yang belum dapat dikalahkan oleh siapapun di Disboard.
“Kau
itu sebenarnya sudah sangat siap, Ran,” ujar Shinichi berusaha menenangkan
gadis itu. “Kau hanya berpikiran bahwa seorang Mouri Ran hanya pantas tampil
sebagai figur minoritas, bukan mayoritas. Aku, Sora, dan Shiro tidak berpikiran
seperti itu, Ran. Bagi kami, terutama aku, semua orang pantas jadi pusat
perhatian.” Detektif muda itu tersenyum sambil kemudian berdiri tegak menghadap
Ran. “Itu artinya, kau juga pantas.”
Wajah
Ran memerah sesat. Kemudian dengan nada candanya yang biasa, ia berkata,
“A-apa, sih, bicaramu sok keren.”
Shinichi
mendengus lalu tertawa kecil. “Tentu saja karena aku ini detektif.”
Ran
tergelak. “Tidak ada hubungannya.”
“Sudah
selesai mengobrolnya?” sela Sora yang entah bagaimana caranya sudah berdiri di
belakang Shinichi. Tentunya bersama Shiro. Entah mengapa dua gamers itu tidak bisa dijauhkan barang
satu hektometer saja. “Ayo, kita harus segera berangkat.”
“Semangat,”
ucap Shiro pada Ran sambil mengangkat kedua tangannya.
Ran
hanya tergelak pelan menanggapi gadis kecil itu.
Mereka
kemudian berjalan keluar dari istana Imanity, terus menuju papan catur terbesar
di Disboard tempat Tet sudah menunggu.
Hari
itu, jam itu, akan dilaksanakan permainan catur paling menegangkan sepanjang
sejarah Disboard. Permainan ini ditonton oleh seluruh penduduk Disboard tanpa
mengecualikan pemimpinnya atau siapapun. Sebuah permainan catur satu lawan satu
yang melibatkan seorang dari ras Imanity dengan Tuhan Disboard.
Ran melawan Tet.
Bisik-bisik
antar penduduk terdengar begitu Sora, Shiro, Shinichi, dan Ran berjalan
memasuki arena permainan. Sora memimpin tiga manusia di belakangnya dengan
santai, seolah sudah terbiasa melakukan menjadi pusat perhatian. Jantung Ran
semakin berdegup kencang saat telinganya mendengar bisik-bisik tidak
mengenakkan itu.
“Apa?
Gadis itu? Gadis lemah begitu melawan Tet?”
“Gadis
itu saja tidak mungkin melawan Sora, apalagi Tet!”
“Dalam
satu kali gerakan saja Tet pasti sudah dapat mengalahkan gadis itu!”
“Mungkin
dia hilang akal sampai berani menantang Tet.”
“Berani
sekali dia!”
Tiba-tiba
Ran merasa tangannya digamit seseorang. Gadis itu mengangkat kepalanya dan
menemukan wajah Shinichi di sana. “Tidak usah dengarkan kata mereka,” ujar
Shinichi sambil mempererat genggamannya. “Kau jauh lebih baik dari yang
orang-orang bayangkan.”
Ran
hanya tersenyum dan mengangguk.
Sesampainya
di tengah papan catur raksasa itu, mendadak terjadi hujan kelopak sakura. Perlahan
tapi pasti, Tet turun dari atas sana dengan posisi duduk bersila. Seluruh
penduduk Disboard bersujud mendapati ‘tuhan’ mereka ada di sana, tetapi tidak
dengan keempat manusia Imanity itu.
“Sudah
siap bermain?” tanya Tet dengan wajah riang seperti biasa.
Ran
melangkah maju perlahan hingga jaraknya dengan Tet hanya tinggal lima meter.
“Aku tidak akan kalah, Tet.”
Tet
tertawa kecil. “Berani sekali, aku suka,” pujinya pada Ran. “Kalau begitu, aku
akan membiarkanmu menentukan taruhan untuk permainan ini.”
Ran
bimbang sejenak. “Kalau kau menang, kau boleh meminta apapun padaku,” ujarnya
lantang. “Kalau aku menang, aku ingin kami berempat—aku, Shinichi, Sora, dan
Shiro—kembali ke dunia asal kami.”
“Taruhan
yang sulit, ya...” Tet mengerutkan dahinya sambil menopang dagu dengan tangan
kanan. “Baiklah, aku terima.”
“Baiklah,”
balas Ran. “Kau yang pilih warna bidakmu.”
Tet
tergelak. “Yakin?”
Ran
mengangguk mantap.
“Putih.”
“Aku
akan ambil hitam,” sahut Ran. “Katakan bersama. Satu... dua... tiga.”
“ASCHENTE!”
Lima
detik kemudian seluruh bidak raksasa berbentuk mirip tabung dengan diameter
satu meter bergerak menuju posisi masing-masing. Setelah enam belas bidak hitam
dan putih siap di tempat, barulah permainan terakhir ini dimulai.
“Kumulai,
ya,” ujar Tet. “Pion ke d4!”
Pion
putih keempat dari sebelah kiri Tet bergerak maju dua kotak, mendekati Ran yang
berdiri di tengah papan catur. Gadis itu berjalan sedikit ke pinggir lalu
berseru, “Kuda ke f6!”
Kuda
hitam Ran yang berada di sebelah kirinya menghilang lalu muncul kembali di
kotak hitam bernomor f6 itu. Tet tersenyum lalu tertawa kecil. “Jebakan lama, eh?”
tanyanya dengan senyum licik. “Aku sudah tahu trik kuda murahanmu itu. Pion ke
c4!”
Detik
berikutnya pion putih ketiga dari sebelah kiri Tet bergerak maju dua kotak.
Kini, dua pion Tet berbaris rapi pada dua kotak yang bersebelahan. Tet menatap
Ran seolah menantang gadis itu untuk membalikkan perangkapnya.
Ran
menghela napas. “Aku ketahuan, ya?” balasnya pelan walau Tet masih dapat
mendengarnya. “Pion ke e5!”
Salah
satu pion Ran kemudian maju dua kotak hingga membentuk garis lurus dengan kuda
hitam Ran yang sudah maju lebih dulu. Tet, melihat gerakan pion itu, tersenyum
sinis. “Kau sama saja mengirim dirimu sendiri ke kematian, Nona,” ucapnya
santai. “Pion d4, serang pion e5.”
Dengan
serangan pion ala catur penyihir Harry Potter, pion putih Tet mendepak pion
hitam Ran dengan sekali serangan, mengirim pion malang itu ke pinggir papan.
Setelahnya, pion putih itu bergerak pelan menuju kotak e5 yang kini kosong. Tet
tertawa terbahak-bahak. “Baiklah, sekarang bagaimana?”
Ran
diam sejenak. Ia memutar badannya perlahan, mencari bidak miliknya yang dapat
digunakan untuk balik menyerang Tet atau setidaknya bertahan. Gadis itu
menyunggingkan senyum lalu kembali menghadap Tet. “Kuda ke g4!”
Kuda
hitam Ran yang tadi sudah seperempat perjalanan kembali bergerak perlahan
menuju kotak g4 berwarna putih itu. Ran melangkah mendekati kudanya itu lalu
menengadahkan kepala seolah menantang Tet. “Sebaiknya kau punya cara yang
bagus!”
Shiro
yang sejak tadi memerhatikan permainan Ran tersentak pelan. Ini, kan...
“Tentu
saja aku punya!” balas Tet tidak mau kalah. “Peluncur ke f4!”
Peluncur
putih Tet dengan cepatnya bergerak miring menuju sebuah kotak hitam yang berada
tepat di samping kuda hitam milik Ran. Lagi-lagi Tet tersenyum senang seolah
hari ini adalah hari keberuntungannya. “Hati-hati, Nona. Tidak lama lagi rajamu
akan berada dalam bahaya besar.”
Ran
mengangguk pelan. “Kurasa kau benar,” gumamnya. “Tapi... tentu aku tidak akan
membiarkanmu melakukan itu, Tet. Kuda ke c6!”
Kuda
hitam Ran yang belum bergerak sejak tadi kemudian bergerak pelan menuruti
perintah Ran. Bidak itu berhenti di sebuah kotak putih berlabelkan ‘c6’ di
atasnya. Tanpa jeda lebih lama lagi, segera Tet berseru, “Kuda ke f3!”
Kuda
putih yang berada di sebelah kanan Tet perlahan bergerak menuju kotak f3. Bidak
yang memang berbentuk kuda itu berdiri dengan tegak di belakang peluncur putih
Tet yang berdiri di f4. “Silakan lanjutkan pertahananmu itu, Nona.”
Ran
diam sejenak, menampakkan raut bingung pada wajah manisnya. Dengan suara pelan,
ia berujar, “Peluncur ke b4.”
Untuk
pertama kalinya, peluncur hitam Ran bergerak setelah terbebas dari pion-pion
yang menghalangi. Peluncur itu bergerak miring menuju kotak b4, kotak yang
membuat raja putih Tet terancam bahaya. Langit kemudian berubah menjadi oranye,
tanda bahwa raja salah seorang pemain sedang diserang oleh bidak lawan atau
nama lainnya, skak.
“Sial,
ternyata kau lebih pandai dari dugaanku,” gumam Tet sambil menopang dagu. “Sayang
sekali kau kurang cerdik menempatkan bidakmu, Nona. Kuda ke d2.”
Posisi
kuda yang ditempatkan Tet itu membuat sang raja putih terlindungi sehingga langit
kembali berubah warna menjadi biru terang. Tet terkekeh geli lalu bertanya,
“Sekarang, siapa yang tidak berhasil melakukan skak mat?”
Ran
tersenyum. Hanya dengan isyarat, gadis itu menunjuk ratunya lalu mengarahkan
telunjuk tangan lainnya ke sebuah kotak berlabelkan ‘e7’. Posisi yang cukup
membuat Tet terbahak-bahak sebab ratu hitam Ran kini dalam posisi melindungi
sang raja, hanya saja tidak dibentengi apapun sehingga mudah saja bagi Tet
untuk memusnahkan ratu Ran. “Pion ke a3,” ujar bocah itu sambil memerhatikan
bidaknya yang maju satu kotak.
Astaga, Ran... batin Shiro dalam hati tanpa
menampakkan ekspresi apapun pada wajahnya.
“Kuda
g4, pindah ke e5,” tukas Ran cepat. Kuda hitamnya perlahan bergerak. Sebelum
tiba di e5, bidak Ran itu menyepak pion putih Tet yang berdiri manis di sana
selama beberapa putaran. Kuda hitam Ran kemudian tiba di kotak e5 bersamaan
dengan tibanya pion putih Tet di pinggir papan.
“Tak
akan kubiarkan,” sahut Tet sambil meluruskan tangannya seolah-olah hendak
merapalkan mantra. “Pion a3! Serang peluncur di b4!”
Secepat
kilat pion itu melempar peluncur yang ada di hadapannya ke pinggir papan. Kini,
pion itu menempati posisi barunya di kotak b4. Dengan sombong Tet tertawa lalu
menatap Ran. “Sekarang apa yang bisa kau lakukan untuk menghalangiku membuat
skak mat?”
Ran
tersenyum kecil. “Tentu saja langkah terakhir yang kurencanakan sejak awal,”
ucapnya santai. “Kuda ke d3.”
Perlahan-lahan
kuda hitam Ran bergerak menuruti perintah Ran. Ketika bidak itu tiba di sebuah
kotak tepat di hadapan dua pion, langit berubah warna menjadi merah.
PING
PONG!
“Skak
mat,” ujar Ran diiringi senyuman manis.
“A-apa?”
Tet menunduk menatapi formasi bidak putihnya yang telah hancur berantakan.
“H-hei, bagaimana ini bisa—“
“Kesombonganmu,”
sambar Shinichi sambil berjalan menghampiri Ran. “Telah membuatmu gagal
memenangkan permainan ini, Tet.”
Tet
menatap Shinichi tidak suka. “Oh ya?”
“Sejak
awal aku sebenarnya tahu, kemampuan Ran yang serba terbatas tidak akan cukup untuk
melawanmu di permainan terakhir,” jelas Shinichi. Pemuda itu mendongakkan
kepalanya. “Itu sebabnya aku menyuruh Ran untuk bersikap seolah-olah kau
berhasil menjebaknya padahal sesungguhnya dialah yang menjebakmu dengan strategi
jitunya.”
“Jebakan
Kieninger,” sahut Shiro sambil menarik abangnya mendekati Shinichi dan Ran.
“Sulit dihindari.”
Tet
tertawa terbahak-bahak. Ia kemudian memutar badannya perlahan sambil berseru,
“Lihat aku, Disboard! Aku, tuhan dunia ini, telah kalah dalam permainan catur
melawan pendatang baru dari Beika!” Selesai berseru begitu, Tet perlahan
menurunkan tubuhnya hingga ia mencapai tanah. Ia berdiri, menghampiri Ran, lalu
menyalami gadis itu. “Selamat atas kemenangan tak terdugamu itu. Jadi, apa yang
harus aku lakukan sekarang?”
Ran
tersenyum. “Mengembalikanku, Shinichi, Sora, dan Shiro ke dunia asal kami.”
“Mudah,”
sahut Tet sambil menjentikkan jarinya. “Sampai jumpa!”
Kemudian
seluruhnya gelap bagi mereka berempat.
***
Ran
mengangkat kelopak matanya perlahan-lahan, entah mengapa bagian itu terasa
sakit. Samar-samar ia dapat melihat sebuah mesin permainan dengan lampu
menyala-nyala yang dilatarbelakangi sebuah ruang keluarga lengkap dengan
televisi, rak buku, serta beberapa kursi malas. Masih kebingungan, ia
meraba-raba dengan kedua tangannya. Empuk, rupanya ia berada di atas sebuah
sofa.
Dimana aku? batin gadis itu sambil menopangkan
kepala pada tangannya, merasa pusing. Kembali ia mengerjapkan matanya beberapa
kali hingga pandangannya jelas, ia sedang berada di ruang keluarga kediaman
Kudou.
“Shinichi?”
panggilnya pelan.
Tidak
ada yang menjawab.
“Ayolah,
jangan bercanda,” ujar Ran dengan nada sebal. “Mengejutkanku dengan pura-pura
tidak ada di ruangan ini sama sekali tidak lucu, tahu? Hentikan.”
“Aku
sama sekali tidak berniat mengejutkanmu,” balas sebuah suara dari koridor. Tak
lama, muncul sesosok pemuda yang Ran kenali sebagai Shinichi. “Sebelum kau
bangun, aku pergi ke dapur untuk minum.”
“Kita
sudah di rumahmu, ya?” tanya Ran masih sambil memegangi kepalanya. “Duh,
kepalaku rasanya sakit sekali.”
“Biar
kuperiksa,” ujar Shinichi sambil menghampiri Ran lalu memeriksa kepala gadis
itu. “Hmm... hanya sedikit memar. Sedikit diusap juga kau akan sembuh, kok.”
Shinichi kemudian menghempaskan tubuhnya di sofa, tepat di samping Ran.
“Badanku juga rasanya sakit-sakit, entah kenapa.”
Ran
hanya membalas kata-kata Shinichi dengan senyum. Ia sandarkan punggungnya ke
sandaran sofa, berusaha merasa tenang setelah bulan-bulan penuh catur di
Disboard. “Kira-kira bagaimana keadaan Shiro dan Sora, ya?”
“Pasti
jauh lebih sakit-sakitan daripada kita,” tukas Shinichi asal sambil memejamkan
matanya. “Pukul berapa sekarang, Ran?”
Ran
membuka matanya lalu menatap langsung jam dinding yang digantung di atas
televisi. “Hmm... pukul lima sore, sepertinya. Badai salju belum juga berhenti,
ya.”
Shinichi
ikut membuka kelopak matanya. Ia tolehkan kepalanya ke kanan dan kiri sambil
berpikir keras. “Tampaknya...” pemuda itu membuka suara. “Selama apapun kita di
Disboard, waktu di sini tidak berubah sama sekali.”
Ran
hanya bisa mengerjap mendengar perkataan Shinichi.
Shinichi
kemudian menatap gadis itu. “Sebaiknya kau tidak bilang pada siapapun soal ini,
ya, Ran.”
Ran
mengangguk setuju. “Kau juga sebaiknya cepat-cepat menyingkirkan mesin itu
sebelum ada orang lain yang memakainya.”
“Tentu,”
jawab detektif itu.
***
Seminggu
setelahnya, Profesor Agasa datang berkunjung ke rumah Shinichi beserta tiga
orang anak kelas satu SD yang sering bertandang ke rumahnya. Sementara Shinichi
dan Agasa sibuk mengobrol di perpustakaan, Shinichi membiarkan tiga anak iseng
itu bermain di ruang keluarganya.
“Apa
itu?” tanya seorang anak lelaki berbadan besar sambil menunjuk sebuah benda
aneh yang tersembunyi di balik buku-buku Sherlock Holmes koleksi Shinichi.
“Biar
kuambil,” sahut anak lelaki yang kurus sambil menyingkirkan beberapa buku lalu
mengambil mesin tersebut. “Hmm... tampak seperti mesin permainan.”
“Ayo
kita coba!” seru si gemuk antusias. Ia biarkan si kurus meletakkan mesin itu di
atas karpet sebelum mereka mencobanya. Si gemuk menekan tombol merah pada mesin
itu hingga akhirnya lampu pada mesin tersebut menyala-nyala.
“Ayumi
ingin pakai helm yang ini!” Satu-satunya gadis dalam trio itu meminta sambil
mengenakan helm merah muda yang ada ke kepalanya. “Mitsuhiko pakai yang biru
saja!”
“Aku
bagaimana?” tanya si gemuk sambil menunjuk dirinya sendiri sementara kedua
temannya menggunakan helm berwarna berbeda yang sejenis.
“Genta
kepalanya terlalu besar untuk memakai helm ini!” tukas si gadis sambil
menikmati helmnya. “Genta bertugas tekan tombol saja!”
Si
gemuk mendengus lalu mengangguk. Setelah kedua temannya selesai memakai helm
dan sudah bersiap dengan joystick masing-masing,
ia menekan tombol yang menyala-nyala di mesin permainan.
Kemudian
semua hening.
Shinichi
dan Profesor Agasa kemudian muncul dari koridor. Keduanya masuk ke dalam ruang
keluarga Kudou yang hangat dan nyaman. Anehnya, mereka tidak menemukan satu
anakpun di sana. Jangankan anak, makhluk hidup saja nihil.
“Dimana
anak-anak itu?” tanya Shinichi heran.
“Mungkin
mereka kembali ke rumahku duluan, mereka memang anak-anak yang tidak bisa diam,”
ujar Agasa sambil berjalan menuju pintu masuk rumah Kudou. “Aku pulang, ya.”
Shinichi
mengangguk. Matanya kemudian menangkap benda mencurigakan yang tergeletak
begitu saja di tengah ruang keluarga rumahnya.
Mesin
permainan yang dia dan Ran pakai dulu.
Gawat.
FIN