- Home »
- Juara 4 "Lomba Fanfic DCF 2015"
#DConanFamily
On Tuesday, August 4, 2015
Disclaimer:
Detective Conan © Aoyama Gosho
***
My Opposite Lover
[—I am you; You are me. But we love
each other, right?]
a Detective Conan fanfiction
by Satou Miwako & Kobayashi
Sumiko
***
Shinichi kecil—Conan—tampak sibuk di
dalam perpustakaan rumahnya. Professor Agasa meminta tolong padanya untuk
mencari sebuah data dari file-file lama milik Yusaku. Kata professor,
file itu sangat ia butuhkan untuk mengembangkan suatu percobaan baru.
Meski dengan hati super dongkol dan
menggerutu, Conan menyanggupi permintaan itu. Begitu tiba di perpustakaan
rumahnya yang super besar, Conan pun langsung sibuk memilah-milah dan mencari
dimana gerangan file yang diinginkan oleh Profesor Agasa tersebut.
Setelah kurang lebih dua jam mencari—dan
tidak membuahkan hasil; perpustakaan rumahnya sangat besar—Conan beristirahat
sebentar. Pada saat itulah, ekor matanya melihat tumpukan album lama
keluarganya. Conan mengambil tumpukan teratas dan begitu ia membukanya,
selembar foto terjatuh dari album tersebut dan menyebabkan atensi Conan teralih
sepenuhnya.
Foto itu terdiri dari dua
orang—laki-laki dan perempuan—ayah dan ibunya. Kira-kira seumuran
dirinya—Shinichi—saat ini. Tampak di foto itu ayah dan ibunya berpose dengan
latar belakang pemandangan malam kota Tokyo. Seperti berada di lantai atas
sebuah bangunan. Ayahnya tersenyum khas—mirip seperti senyumnya—sambil
mengangkat kedua tangannya ke belakang kepala dan ibunya dengan sedikit
menunduk juga berpose sambil membentuk peace dengan dua jarinya. Ibunya
terlihat memakai gaun hijau yang berkesan santai, sementara ayahnya juga
terlihat memakai setelan semi formal.
Sekelebat ingatan langsung terbentuk di
otaknya. Tidak salah lagi, ini foto 20 tahun yang lalu, saat ayahnya melamar
ibunya di sebuah restoran mewah. Hal yang pernah coba Shinichi tiru saat ia
mencoba melamar Ran, namun gagal karena suatu keadaan.
Tetapi bukan hanya itu.
Ada satu cerita lain yang berhubungan
dengan hal ini. Sebuah kejadian yang menjadi awal mula kisah cinta dua orang
dengan karakter yang bertolak belakang.
Sebuah kisah unik milik Yusaku dan
Yukiko Kudo.
***
Yukiko merapikan seragam sekolah SMA
Teitannya. Setelah dirasa rapi, ia lantas mematut diri di depan cermin besar di
kamarnya.
Cantik.
Yukiko pun menyadarinya. Ia memang
cantik. Sebagai seorang aktris muda berbakat, kecantikannya memang sudah diakui
oleh banyak orang. Yukiko masih mengagumi pantulan dirinya di depan cermin dan
tiba-tiba semburat merah tipis muncul di pipinya. Berdehem, ia menenangkan
dirinya sendiri dan melanjutkan aktivitasnya. Sembari menggumam kecil, ia
lantas menyempurnakan penampilannya saat ini.
Suara teriakan sang Ibu menyadarkan
Yukiko. Ia bergegas mengambil ranselnya dan dengan sedikit tergesa-gesa
berpamitan kepada kedua orangtuanya. Begitu sampai di depan rumah—seperti yang
sudah ia duga—sosok pria itu pasti sudah menunggunya. Sama seperti hari-hari
sebelumnya.
”Kudo-san….”
Pria itu menoleh, menatap ke arah gadis
yang baru saja memanggilnya. Ia menghela nafasnya dan menggelengkan kepalanya.
Lalu tatapannya berubah menjadi serius ketika ia memandang Yukiko, sementara
yang ditatap hanya memasang cengiran polosnya.
”Harus ku katakan berapa kali kepadamu,”
sang pria mulai berjalan mendekat ke arah Yukiko.
Begitu jarak mereka hanya tinggal
terpaut beberapa senti, Yusaku menjewer telinga Yukiko dan berteriak sedikit
keras di telinga gadis itu dengan kalimat penuh penekanan kata per kata, ”jangan—memanggilku—dengan—namamu—saat—kita—hanya—sedang—berdua….”
Ucap sang pria kesal ke arah si gadis yang baru saja menemuinya.
”Jangan marah begitu. Aku hanya
mengetesmu kok, Kudo—”
Yusaku memelototinya dan Yukiko
buru-buru meralat panggilannya, ” —maksudku … Fujimine-san. Yah begitulah.”
Ucap final Yukiko sembari menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
”Oh ya ampun, kenapa aku menjewer
telingaku sendiri!” Yusaku seakan baru menyadari perbuatannya dan berteriak
histeris yang langsung ditenangkan oleh Yukiko.
Bingung? Tidak kalian tidak salah baca.
Suatu hal telah terjadi kepada mereka berdua.
Jiwa mereka tertukar satu sama lain.
Kejadian aneh itu menimpa mereka berdua
sekitar seminggu yang lalu. Mereka berdua sama-sama terjebak hujan sepulang
sekolah dan berteduh di depan sebuah toko tua yang rapuh. Yukiko menggerutu di
dalam hati, merasa menyesal karena telah mengabaikan ajakan Eri untuk pulang
bersama dan lupa bahwa dirinya tidak membawa payung. Menyebalkan kalau harus
menunggu di tempat sepi begini, yah meskipun—untungnya—ia tidak sendirian.
Diam-diam Yukiko melirik ke arah pemuda
di sebelahnya. Yusaku Kudo. Pemuda itu tampak tidak terganggu dengan keadaan
ini. Ia duduk tenang membaca—sepertinya buku misteri. Yukiko tentu saja
mengenalnya. Yukiko bisa dibilang salah satu siswa populer karena selain
profesinya sebagai aktris ia juga siswa yang mudah bergaul—banyak yang
menyukainya karena itu.
Yusaku cukup populer di kalangan
perempuan, dia tampan, tenang dan cerdas. Meskipun kelihatannya Yusaku tipe yang
lebih suka tidak terlalu menonjol, berbeda sekali dengan dirinya. Ada sebersit
perasaan nyaman muncul pada diri Yukiko saat ia hanya berdua saja dengan
Yusaku—seperti saat ini misalnya. Pembawaan Yusaku yang tenang seperti mampu
menarik sifat Yukiko yang kadang suka meledak-ledak.
Merasa diperhatikan Yusaku menoleh
sebentar dari buku yang dibacanya. Matanya bertemu dengan mata Yukiko yang
masih memandangnya. Terkejut, mereka berdua sama-sama memalingkan muka.
Meninggalkan semburat merah tipis di pipi Yukiko dan perasaan asing yang aneh
di dada Yusaku.
Hujan turun semakin deras, bahkan kali
ini angin kencang mulai berhembus. Yukiko merapatkan mantel yang memeluknya dan
merasa cemas. Kalau hujan tidak juga berhenti bagaimana ia bisa pulang nanti.
Tanpa sadar Yukiko semakin merapatkan tubuhnya ke arah Yusaku. Begitupun dengan
Yusaku. Mereka sama-sama menoleh. Dan begitu pandangan mereka bertemu untuk
kedua kalinya, tiba-tiba petir besar menggelegar. Dan hal terakhir yang diingat
Yukiko adalah wajah panik Yusaku sebelum akhirnya semua berubah menjadi gelap.
Yukiko yang kini berada dalam tubuh
Yusaku masih merajuk. Setelah kejadian itu entah mengapa jiwa Yukiko dan Yusaku
saling berpindah. Meski awalnya terkejut, namun akhirnya mereka sepakat untuk
saling membantu demi bisa pulih ke tubuh asli mereka. Contohnya, mereka saling
mempelajari kehidupan satu sama lain. Bagaimana sifat satu sama lain,
kebiasaan-kebiasaan mereka, hobi, bahkan mereka harus rela berukar tempat
tinggal. Singkatnya, kehidupan mereka benar-benar ikut berubah.
”Haish, ini menyebalkan.” Yukiko kembali
menggerutu.
Yusaku hanya mendengus sebal. Ia merasa
sedikit tidak nyaman melihat tubuhnya menggerutu. Memangnya Yukiko pikir
hanya dia saja yang sebal. Yusaku juga merasa capek dengan keadaannya.
Seandainya ia bertukar jiwa dengan sesama lelaki, mungkin akan lebih baik
untuknya—
—Tidak kok, Yusaku bukan penganut ajaran
rainbow. Dia masih lurus.
Hanya saja, karena jiwanya harus masuk
ke dalam tubuh Yukiko, mau tidak mau dia harus menirukan semua hal tentang
wanita—padahal dia lelaki. Dan menurut Yusaku, kehidupan wanita adalah hal
paling melelahkan di dunia—kau berlebihan. Itulah kenapa, bertukar jiwa dengan
wanita terasa sangat merepotkan.
Seperti hari ini saja misalnya. Ia
merasa sesak memakai baju seragam Yukiko. Meskipun tubuhnya ikut mengecil,
tetapi karena jiwanya yang tengah berada dalam tubuh Yukiko, Yusaku menjadi
luar biasa sesak memakai baju seragam itu. Belum lagi karena penyamaran mereka
harus sempurna—Yusaku sendiri yang mengusulkan ini—jadi dia harus rela memakai
riasan wanita, untungnya Yukiko tidak pernah berdandan berlebihan saat di
sekolah.
”Hei Yusaku,”
”Hmm …”
”Kau sudah tau caranya supaya kita bisa
kembali seperti semula?”
Yusaku hanya menghela nafasnya, ”kenapa
kau bertanya kepadaku?”
Yukiko memiringkan kepalanya, Yusaku
hanya mampu facepalm karena Yukiko bertingkah begitu dengan memakai
tubuhnya.
”Memangnya aku harus bertanya pada siapa
lagi? Yang tahu masalah ini kan hanya kau dan aku … lagipula kau ini kan
jenius.” Yukiko tersenyum riang sambil menepuk bahu Yusaku yang kali ini lebih
pendek darinya.
Yukiko ini … cara berpikirnya kenapa
sesederhana itu. ”Kau benar. Tetapi bahkan hal seperti
ini di luar batas pemikiran manusia … aku juga belum tahu,”
”Ya sudah tak apa. Kita jalani saja
dulu. Mungkin saja akan ada petunjuk.” Yukiko berucap dengan pasti. Yukiko
melirik ke arah Yusaku—ke arah tubuhnya—memperhatikan penampilannya, ”tunggu,”
Yusaku reflek menghentikan tubuhnya.
Yukiko lantas mendekat dan kini sudah berdiri di depan Yusaku. Entah kenapa
tiba-tiba tubuh Yusaku membeku. Yang ia lihat dengan matanya adalah tubuhnya
sendiri, tetapi kenapa tiba-tiba dadanya berdebar-debar?
Yukiko tampak sibuk merapikan pakaian
yang dikenakan Yusaku—pakaiannya sendiri—ia merapikan dasi dan jas yang
dikenakan Yusaku. Yukiko sama sekali tidak menyadari bahwa tindakannya itu
membuat tubuh Yusaku menegang. Yusaku merasa perutnya melilit dan jantungnya
belum berhenti berdebar-debar. Padahal yang mendekatiku adalah tubuhku
sendiri. Lantas kenapa aku merasakan perasaan seperti ini? Apa jangan-jangan …
Belum selesai dengan pemikirannya,
Yukiko menjauh dari Yusaku. Dengan bangga ia tersenyum dan memperhatikan
Yusaku. Yusaku juga tengah menatapnya. Pandangan mereka bertemu lagi. Dan tiba-tiba
mereka saling memalingkan muka. Wajah Yukiko—yang ada di dalam tubuh Yusaku—tiba-tiba
memerah sehingga dia segera berbalik dan melanjutkan perjalanannya. Mereka melanjutkan
perjalanan mereka menuju ke sekolah dalam situasi diam yang canggung.
***
Eri Kisaki tengah memperhatikan sahabat
yang duduk di sebelahnya ini, Yukiko Fujimine. Sebagai salah satu teman
terdekat Yukiko, Eri menyadari bahwa …
Ada yang tidak beres dengan sahabatnya
ini.
Sudah kurang lebih seminggu ini Eri
menyadari keanehan sikap Yukiko. Yukiko mendadak menjadi lebih pendiam—meski
sebetulnya bagus sih, karena kadang Yukiko itu berisik—dan agak menjaga jarak
dengannya. Belum lagi, pancaran wajah penuh semangatnya juga ikut hilang,
padahal itulah salah satu alasan Yukiko disukai banyak orang. Dan yang paling
penting adalah, ini sudah yang kesekian kalinya ia memergoki Yukiko, berangkat
dan pulang sekolah selalu bersama dengan Yusaku.
Hal terakhir inilah yang paling
membuatnya heran di antara semua sikap aneh Yukiko belakangan ini. Bukannya
salah sih, hanya saja … sejak kapan Yukiko menjadi akrab dengan Yusaku. Meskipun
Yukiko sendiri tipe yang tidak pilih-pilih teman, tetapi menjadi dekat dengan
Yusaku dalam waktu sesingkat ini tetap terdengar aneh. Sifat mereka berdua itu
terlalu bertolak belakang. Eri jadi kebingungan sendiri.
Kalau dipikir-pikir lagi, bukan hanya
Yukiko yang berubah. Tetapi Yusaku juga. Meskipun Eri tidak terlalu mengenal
Yusaku, tetapi dengan sekali lihat Eri juga tahu kalau Yusaku orang yang
serius. Eri merasa kalau belakangan ini Yusaku terlalu ceria untuk menjadi
dirinya sendiri. Kecurigaan Eri bukan tanpa alasan. Karena bukan hanya dirinya
yang merasa begitu. Hampir semua orang yang mengenal Yusaku juga berpendapat
hal yang sama. Eri memiliki suatu dugaan. Hanya saja, ia perlu memastikan
sendiri kepada salah satu atau kedua orang itu. Sudahlah. Menyerah, Eri
kembali memfokuskan pikirannya ke arah buku di depannya dan membuat catatan
untuk dirinya bahwa ia harus menyelidiki hal ini lebih jauh.
***
”Apa katamu?”
Yukiko—yang berada dalam tubuh
Yusaku—hanya meringis mendengar teriakan sahabatnya. Sedangkan Yusaku hanya
mengedikkan bahu. Eri memijat pelipisnya. Ternyata apa yang selama ini
diduganya memang benar.
Jiwa Yusaku dan Yukiko tertukar.
Yukiko akhirnya menceritakan asal muasal
jiwa mereka yang tertukar. Eri mendengarkan dengan seksama sambil berpikir.
Setelah Yukiko selesai bercerita Eri memandang ke arah Yusaku, ”dan kau belum
tahu bagaimana cara mengembalikan keadaan kalian seperti semula?”
Yusaku menggeleng dan Eri hanya mampu
menghela nafasnya.
”Sebentar lagi, kontes kecantikan SMA
Teitan akan dilangsungkan.”
Yukiko yang belum sepenuhnya tersadar
atas apa yang diucapkan Eri hanya menunjukkan wajah bingungnya.
”Oh astaga!”
Yusaku langsung mengerti apa yang ingin
disampaikan Eri. Eri hanya mengangguk, ”Ya … astaga….”
”Ini buruk sekali, Yukiko-san.”
Yukiko sama sekali belum mengerti dan
hanya memandang keduanya dengan pandangan bingung.
”Kontes kecantikan … kau juga pasti tahu
kalau kita berdua sudah dipastikan akan menjadi rival,” Eri berusaha
menjelaskan. ”Menurutmu dengan kondisimu yang sekarang … apa yang akan terjadi
jika Kudo-san yang mengikutinya?”
Yukiko terbelalak, ”astaga … aku lupa
kalau ada kontes itu. Bagaimana ini, Eri?”
”Mau tidak mau, Kudo-san harus
benar-benar bisa menggantikanmu,” Eri memandang keduanya bergantian.
”Sepenuhnya.”
***
”KYAAAAAA!!!”
Teriakan nyaring terdengar dari toilet
perempuan dan membuat beberapa orang bergegas kesana, termasuk Yusaku dan Eri.
”Sungguh … aku benar-benar tidak sadar.
Aku sama sekali tidak bermaksud mengintip.”
Begitu sampai di sana, Yusaku sudah
melihat tubuhnya terlihat sedang membungkuk untuk meminta maaf. Dari
bisikan-bisikan siswa-siswi di sekitarnya, Yusaku tahu kalau baru saja
Yukiko—dengan tubuh laki-lakinya—salah masuk toilet pria. Yusaku hanya menghela
nafasnya dan tanpa berpikir ia bergerak maju dan menyeret tubuhnya sendiri
untuk pergi dari kerumunan itu.
Itu bukan pertama kalinya, sebenarnya.
Sebelum ini, Yusaku sudah pernah berada di dalam situasi yang menyebabkan ia
hanya mampu menghela nafas pasrah karena kelakuan Yukiko yang ceroboh dengan
tubuhnya. Sebelumnya, Yukiko pernah tanpa sengaja terkena lemparan bola basket.
Iya, bola basket yang besar itu.
Waktu itu Yukiko sedang terburu-buru
berjalan dari gedung sekolah ke halaman depan. Tentu saja ia harus melewati
lapangan basket sekolah. Ia berjalan dengan terburu-buru dan sama sekali tidak
menyadari bahwa sebuah bola basket bergulir ke arahnya. Meskipun ia sempat
menoleh—semua orang meneriakinya—tetapi terlambat, bola itu telak mengenai
wajahnya dan mengakibatkan ia harus dibawa ke ruang kesehatan dan menghabiskan
beberapa jam pelajaran berikutnya dengan … pingsan. Tidak keren, ya.
Begitu sadar dari pingsannya, Yukiko
langsung bertatap muka dengan Yusaku yang memasang tampang bosan. Yusaku
sepertinya merasa kesal karena well … itu tubuhnya yang menjadi korban.
Yukiko hanya menunjukkan wajah tanpa dosanya dan Yusaku mengalah—lagi. Yukiko
tidak tahu harus merasa senang atau merasa bersalah karena lagi-lagi ia
merepotkan Yusaku. Saat akhirnya keadaannya membaik dan mereka berdua keluar
dari ruang kesehatan, perkataan Yusaku kepadanya membuat Yukiko terus-menerus
terngiang tentang itu.
”Kau tau, Fujimine-san. Meskipun aku
tidak bisa berhenti cemas karena kelakuanmu terhadap tubuhku tapi aku senang
karena kau yang memakai tubuhku…. Untung saja itu dirimu bukan orang lain.”
***
Lain Yukiko lain pula Yusaku. Jangan
dikira hanya Yukiko saja yang kesulitan beradaptasi dengan tubuh barunya.
Yusaku juga mengalami hal yang sama. Selain masalah berias dan berpakaian,
Yusaku juga harus menyesuaikan diri dengan kehidupan artis seorang Yukiko.
Pernah suatu ketika, ia harus bangun
pagi-pagi sekali karena harus melakukan pengambilan gambar di tempat yang jauh.
Atau pernah juga dia harus absen sekitar lima hari dari sekolah karena ada
pemotretan di tempat yang jauh. Melelahkan, tentu saja. Apalagi untuk orang
yang belum pernah mengalami kejadian seperti ini.
Tiga hari yang lalu, Yukiko datang
menemuinya dan mencemaskannya karena Yusaku kelelahan dan jatuh sakit … akibat
terlalu memforsir energinya. Yukiko memarahinya dan mengatakan untuk lebih
menjaga diri—karena yang kau gunakan itu tubuhku—dan langsung
melupakannya saat keesokan harinya namanya terpilih memenangkan sebuah
pernghargaan akibat perannya dalam sebuah film sebagai polisi wanita tangguh
yang dingin dan serius; karena Yusaku yang memerankannya, entah bagaimana peran
itu jadi benar-benar terlihat hidup dan sempurna. Banyak yang memujinya karena
itu.
Begitu mendengar berita itu, tanpa sadar
Yukiko langsung memeluk Yusaku dan terus menerus mengucapkan terima kasih serta
betapa ia sangat senang Yusaku lah yang terjebak di dalam tubuhnya—dan begitu
menyadari jika ia memeluk Yusaku, Yukiko langsung melepaskan pelukannya dengan
tambahan sedikit semburat merah di pipinya.
Singkatnya, seharusnya mereka berdua
merasa terganggu dengan keadaan ini. Namun, entah karena dorongan apa, mereka
justru menikmatinya dan merasa nyaman dengan semua itu. Mereka menikmati
saat-saat mereka terkadang begitu ceroboh dan membuat kesalahan kecil yang
menggelikan. Mereka senang saat mereka bisa dengan mudah melakukan hal-hal yang
seharusnya dilakukan oleh diri mereka sendiri. Dan meskipun mereka masih tidak
mengerti, tetapi mereka menikmati sensasi aneh yang terasa menggelitik perut
mereka saat mereka menatap tubuh asli mereka satu sama lain atau perasaan
berdebar-debar yang muncul kapanpun mereka sedang berdua.
***
Langkah kaki Yusaku menyeret mereka
berdua ke bagian belakang halaman sekolah mereka yang sepi. Tidak ada orang
selain mereka. Setelah kejadian salah masuk toilet tadi Yukiko hanya bisa
menunduk. Kali ini mungkin Yusaku akan benar-benar marah kepadanya.
Yusaku berbalik dan menatap Yukiko.
Yukiko balik menatapnya dengan tatapan sangat meminta maaf.
”Maaf Yusaku … aku tadi benar-benar melamun
sampai tidak sadar … sepertinya aku ini benar-benar merepotkanmu yah.”
Yusaku menggeleng pelan—nyaris tak
kentara. ”Sudahlah … aku sudah terbiasa kok.”
”Kau ini, kenapa baik sekali kepadaku?
Padahal aku hampir selalu merepotkanmu.”
”Tidak ada alasan, Yukiko. Aku hanya
merasa kalau memang beginilah seharusnya sikapku kepadamu.”
Yukiko memandang jauh ke dalam mata
Yusaku. Sedikitpun ia tidak merasakan kebohongan dari perkataan Yusaku. Ia
sendiripun sudah merasakannya. Sejak kejadian ketika jiwanya tertukar dengan
Yusaku, Yukiko semakin mengenal pemuda di depannya ini. Awalnya Yukiko mengira
Yusaku orang yang membosankan dan serius. Tetapi saat ia terjebak di dalam
tubuh Yusaku, Yukiko mulai mengerti bahwa Yusaku tidak seperti itu.
Tentang bagaimana tubuh asli mereka
bereaksi satu sama lain saat lawan bicaranya sedang berada di depan mata juga
membuktikan bahwa sekalipun jiwa mereka tertukar, namun tubuh mereka tidak bisa
berbohong,
Perasaan itu ada.
Dan ia terus tumbuh dan berkembang.
Menjadikan sesuatu yang mustahil menjadi nyata. Merubah hal yang tidak mungkin
menjadi mungkin. Perasaan itu menyergap mereka tanpa pandang bulu. Dan tidak
ada yang bisa menyangkalnya. Tidak juga Yusaku dan Yukiko. Maka di sinilah
mereka. Menyerahkan diri mereka pada perasaan itu.
Hembusan angin musim gugur meniup
daun-daun kering dan sebagian helai rambut Yukiko dan Yusaku, menghasilkan efek
dramatis yang luar biasa indah. Matahari senja yang mulai condong membentuk
siluet dua sosok manusia berbeda gender tersebut. Perlahan namun pasti,
dua siluet itu mulai mendekat dan semakin menyatu seiring dengan kedua tangan
mereka yang saling bertaut.
Tiba-tiba seberkas sinar menyilaukan
muncul dan baik Yusaku maupun Yukiko merasakan sensasi aneh pada tubuh mereka.
Mereka mengerjapkan mata dan begitu sadar Yukiko sudah tidak menatap dirinya
sendiri lagi, melainkan sosok Yusaku—kali ini benar-benar Yusaku. Meski masih
sama-sama terkejut tetapi mereka mengerti bahwa kali ini mereka sudah kembali
ke dalam tubuh asli mereka.
Yukiko tersenyum sangat lebar—senang
karena ia bisa kembali ke dalam tubuhnya sendiri—dan langsung melompat ke arah
Yusaku. Yusaku sudah bersiap menangkap Yukiko. Kali ini, untuk yang kesekian
kalinya mereka saling menatap, tidak ada lagi tawa malu-malu, tidak ada lagi
semburat merah dan tidak ada lagi senyuman canggung. Sebuah bisikan di telinga
Yukiko membuat gadis itu merona dan mengangguk riang ketika ia mendengarnya.
”Menangkan kontesnya dan aku akan
memberimu hadiah khusus dariku.”
***
Begitulah. Pada akhirnya kontes
kecantikan SMA Teitan benar-benar diadakan dan berakhir rusuh. Begitu
mengetahui bahwa yang bertanding adalah Eri dan Yukiko, fans mereka dari
seluruh penjuru Jepang datang untuk memberikan dukungan. Kontes itu akhirnya
berakhir seri karena jumlah voting yang masuk kurang satu—dan tidak ada yang
tahu siapa yang membawa satu kertas suara itu.
Yukiko sedikit cemberut ketika menuruni
panggung dan Yusaku langsung menghampirinya.
”Kontesnya batal jadi aku tidak menang.
Kau pasti tidak jadi memberikan hadiahmu kan?”
Yusaku hanya tertawa melihat Yukiko
sedang merajuk. Dengan gerakan cepat ia mendekati Yukiko dan—lagi-lagi—berbisik
di telinga gadis itu, ”nanti malam di Restoran di Atap Gedung Beika. Aku
akan menunggumu di sana.”
Sebuah ajakan kencan.
***
Malamnya Yukiko benar-benar memenuhi
ajakan kencan dari Yusaku. Ia tampak anggun dengan terusan semi formal berwarna
hijau. Yukiko sudah cemas begitu tahu bahwa Yusaku mengajaknya kencan di tempat
seperti ini—ini mahal—tetapi Yusaku dengan senyum lebarnya meyakinkan
bahwa itu semua tidak masalah.
Yukiko tengah diliputi perasaan tegang
yang tidak menentu. Campuran antara perasaan menunggu, berdebar-debar, cemas
dan bahagia yang menjadi satu. Saat ini Yusaku masih ada di bagian lain gedung
untuk memecahkan sebuah kasus. Tidak berselang lama, ia bisa mendengar langkah
kaki yang berderap ke arahnya. Ia berbalik dan melihat Yusaku sedang berlari ke
arahnya ketika tiba-tiba Yusaku berteriak kalau ia akan melamarnya.
Sebentar. Apa tadi kata Yusaku? Dia akan
melamar? Melamar siapa?
Yukiko tidak sempat bertanya-tanya
karena ia sudah menemukan jawabannya begitu semua orang yang hadir di situ
menatap penuh senyuman ke arah mereka berdua sambil bertepuk tangan senang.
Kali ini Yukiko sudah benar-benar tidak bisa lagi menyembunyikan rona merah
wajahnya. Jadi, ia hanya bisa mengangguk dan tersenyum manis saat akhirnya ia
menerima lamaran Yusaku. Yusaku memeluknya lagi dan kali ini ia bertanya tepat
di depan Yukiko, ”kau suka dengan hadiahku?”
”Sudah tentu,” Yukiko tersenyum. ”Terima
kasih banyak, Yusaku.”
Sejak saat itulah lamaran Yusaku-Yukiko
menyebar dengan cepat sebagai sebuah legenda di wilayah itu.
***
Epilog:
Lencana detektif Conan berbunyi nyaring
di dalam keheningan perpustakaan rumahnya, menyebabkan kesadaran Conan kembali
sepenuhnya ke masa kini. Conan sedikit terkejut lalu segera menjawab panggilan
yang ternyata berasal dari Profesor Agasa.
”Shinichi-kun bagaimana? Kau sudah
menemukan apa yang ku cari?”
”Ah sebentar,” Conan melirik sebuah
amplop yang cukup usang tergeletak di dekat album foto yang sebelumnya ia buka.
Ia bergegas mengambilnya dan menemukan file dan beberapa dokumen yang
dicari oleh professor. Kenapa daritadi aku tidak menemukannya ya. ”Ya Profesor,
aku sudah menemukannya. Aku akan segera membawanya ke rumahmu.”
Conan berjalan keluar. Sebelumnya, ia
mengembalikan foto ayah dan ibunya yang terjatuh ke tempat yang seharusnya.
Sebelum menutup pintu ruang perpustakaan, Conan tersenyum dan akhirnya ia pun
berlalu pergi dari tempat itu.
FIN
Tetep, ff ini favoritku.
ReplyDelete